Chapter 5 - Kabar Mengejutkan di Pagi Buta

18 3 2
                                    

"Korban meninggal Gwendiarra Sastrawiguna."

"Waktu ditemukan sekitar pukul empat dinihari."

"Penyebab kematian diduga karena kehabisan darah akibat sayatan tepat di urat nadi pergelangan tangan sebelah kiri."

"Senjata yang digunakan pisau pengupas buah yang memang selalu ada di piring buah atas nakas sebelah tempat tidur."

"Perkiraan sementara kasus bunuh diri, karena terjadi dalam ruang tertutup yang terkunci di kamarnya sendiri."

Ucapan seorang petugas forensik bersama opsir polisi yang sedang olah TKP di kamar Gwen membacakan hasil sementara pemeriksaan TKP yang kemudian dituliskan oleh satu petugas yang lain. Berlalu lalng petugas di sana. Ada yang sibuk memasang garis kuning tanda area tak boleh dilewati oleh orang yang tidak berkepentingan, menandai tempat dan posisi korban ditemukan dengan pilok putih, serta ada pula yang sibuk mendokumentasikan TKP berupa jepretan-jepretan kamera sebagai tambahan keterangan bahan bukti.

Bagaikan mimpi, semuanya terjadi begitu cepat. Kejutan pilu di pagi buta hari itu mampu membuat seisi rumah keluarga Sastrawiguna histeris. Nyonya Ambar yang biasanya lemah lembut itu bahkan sampai meraung tak terkendali hingga sesaat kemudian tak sadarkan diri. Tentu saja, siapa kiranya ibu yang dapat bertahan tetap kalem bila putrinya mendadak ditemukan meninggal dalsm kamarnya sendiri?

Lutut Lintang seketika lemas tak bertenaga pada subuh itu ketika mendapat kabar di telepon. Telinganya tak dapat mempercayai apa yang didengarnya hingga ia meminta diulangi lagi dan lagi. Bahkan, masih dalam ketidakpercayaan, ia langsung bergegas pergi ke rumah keluarga Gwen untuk melihat sendiri apa gerangan yang telah terjadi. Mana mungkin Gwen sahabatnya dibilang telah mati?

Dihubunginya Elang, terpaksa ia meminta diantar ke sana, karena akan susah mencari taxi sepagi itu. Lagipula tubuhnya begitu gemetar, ia merinding akan kenyataan yang mungkin segera disaksikannya dengan mata kepala sendiri. Meski tak percaya, akal sehatnya juga mengatakan bahwa hal seperti itu pasti bukan sebuah canda yang bisa dengan mudah diucapkan orang terhadapnya. Ketakutan, ia sungguh takut apa yang didengarnya itu adalah sebuah fakta.

Sesampai di sana, dilihatnya tenaga medis membawa tandu jenazah--yang ditutup kain putih--menuju ke ambulans untuk diotopsi di rumah sakit. Seketika tubuhnya genetar hebat. Kakinya terasa melumer dan ia sampai harus berpengangan pada Elang agar tak jatuh.

Saat berpapasan, Lintang memaksa menyingkap penutup di bagian kepala jenazah itu, dan terkesiap ketika dilihatnya wajah sahabatnya yang diam dan sepucat kapas dengan bibir yang sudah tampak membiru.

Matanya spontan membeliak ngeri. Ditutupnya mulut yang tanpa sengaja menganga saking terkejutnya. Itu Gwen! Tapi mana mungkin?

Tak kuasa menahan jeritan, Lintang pun akhirnya histeris dan berteriak,
"Tidaaaaaaaaak!"

Dikejarnya tenaga medis yang terus membawa tandu Gwen berlalu dari hadapannya. Mereka menuju ke arah ambulans yang sudah menunggu untuk membawa jenazah ke rumah sakit untuk proses otopsi lanjutan.

"Tidaak, Tidaaakkk! Jangan bawa Gwen, kemana kalian? Heii!" teriak Lintang yang tentu saja diabaikan oleh para petugas yang tengah sibuk menjalankan tugas.

Elang yang juga terperangah menyaksikan jenazah Gwen, sontak meraih Lintang ke dalam pelukannya. Mengusap-usap punggungnya dan membisikkan beberapa kalimat, mencoba menenangkan gadis itu.

"Gweeeennn ...!" teriak Lintang pilu. Ia merosot terduduk di pelataran luas rumah keluarga Sastrawiguna.
Sesenggukan menangisi kematian sahabatnya. Ingusnya berleleran tak dipedulikan. Ia bahkan lupa untuk jaim di hadapan Elang--sang pujaan. Peristiwa itu begitu membuatnya terguncang.Sungguh tak tergambar betapa sesak dan sakit batinnya kehilangan.

"Lintang ... sssstt ... kamu harus kuat, Gwen nggak akan suka lihat kamu kayak gini 'kan? Tabah ya Lin, sudah takdir Gwen begini ... Tenangin diri kamu, oke?" Dipeluknya lagi kekasih hatinya itu sambil terus menggumamkan penghiburan.

"Baru semalem kami keluar bareng, Lang! Dan sekarang, dia udah gak ada lagi."

"Ini nggak mungkin, huhuhuuu, Gweeeen ...!"

Masih tersedu-sedu, ia terus saja meratapi kenapa kemarin gak menginap saja di situ, menemani Gwen.

"Aku nyesel Lang, harusnya semalem aku mau diminta nginep sama dia. Pasti ini nggak akan sampai kejadian, huhuhuuu ...."

Elang terus mengusap punggung gadis itu, mencium puncak kepalanya, mencoba mengurangi penyesalan dan rasa shock serta kesedihannya saat ini. Meskipun tentu saja itu sama sekali tak cukup membantu. Kehilangan sahabatnya akibat kematian sungguh bukan perkara yang mudah untuk dialami siapapun.

"Ssstt ... Kita temui Mama Gwen, pasti beliau juga sedang hancur, barangkali kamu bisa sedikit menenangkannya ..."

"Tapi tentu kamu sendiri harus tenang dulu, jangan malah nambahin beban beliau, oke?"

Saran Elang berkaitan dengan Mama Gwen berhasil memberikan kekuatan besar bagi Lintang. Ia baru ingat kalau yang paling hancur atas kepergian Gwen pastilah Nyonya Ambar. Ia harus segera melihat bagaimana kondisi mama sahabatnya itu.

Elang membimbing Lintang masuk ke dalam rumah dan mendapati seisi rumah termangu diam. Mereka duduk berkumpul di ruang keluarga dengan diselingi beberapa polisi yang lalu lalang mengamankan TKP.

Tuan Hartono, pria paruh baya yang biasanya tampak tegap gagah dan maskulin dengan gaya perlentenya, hari itu tampak kuyu dan lemah. Dia duduk sambil sesekali berdiri mondar-mandir mengikuti polisi yang menanyakan sesuatu hal padanya. Bahunya merosot tak setegap biasanya. Dan entah hanya penglihatan Lintang saja atau memang benar bahwa nampak air bening menggenang di pelupuknya. Mungkin akan siap tumpah bila nanti ia sedang berada sendirian.

Gwen ialah anak satu-satunya. Otomatis ia kehilangan sosok pewaris tunggal. Sementara Raline hanyalah anak tirinya dengan Nyonya Novia. Ia sudah besar saat mereka menikah.

Nyonya Ambar, duduk bersandar di sofa dengan ditemani Bik Yatmi yang berdiri mematung di sebelahnya. Bik Yatmi terus menerus mengusap pundak Nyonya majikannya. Tampak benar ia tak sampai hati meninggalkan sang nyonya di saat terburuk dalam hidupnya itu.

Nyonya Ambar sendiri hanya termenung dan termangu-mangu bagai tak sadar. Ia sudah siuman dari pingsannya tadi, tetapi sepertinya setengah jiwanya masih belum sepenuhnya menyatu dengan raga.

Di sisi lain ruangan, tampak Nyonya Novia duduk bersama Raline. Keduanya menampakkan ekspresi yang terpukul, bingung, dan kesedihan yang tampak seakan dibuat-buat.

Lintang tak sadar dia memperhatikan ke arah mama dan saudara tiri Gwen itu begitu lama, hingga sepertinya Raline mulai menyadari tatapannya. Ia membisikkan sesuatu kepada mamanya. Sang Mama kemudian balas memandang ke arah Lintang dengan tatapan angkuh dan congkak yang memang selalu ia tampakkan semenjak pertama mereka kenal.

Mereka telah saling tidak menyukai bahkan semenjak Lintang pertama kali diajak Gwen ke rumah ini dan berkenalan dengan keluarganya. Lintang sendiri memiliki alasan kuat untuk tak menyukai mereka. Gwen sudah bercerita bagaimana awal mulanya Tuan Hartono membawa mereka berdua secara tiba-tiba ke dalam rumah ini. Lintang benci dengan segala bentuk pengkhianatan, khususnya kepada pelaku penyebab pengkhianatan itu sampai terjadi.

* * *

To be continued ...

Pesan Kematian GwenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang