7. Perpusnas

13 3 0
                                    

Selamat membaca📖

Menghembuskan nafas dengan mata terpejam. Membukanya secara perlahan dan menatap pantulan diri di depan cermin. Meneliti penampilannya dari atas hingga bawah. Tangannya memegang erat-erat tali tas selempangnya.

Kini tekadnya begitu kuat untuk mencari tau maksud dari note-note yang di dapatkannya. Ia berpikir, mungkin note-note itu sebuah kode. Ada sesuatu rahasia yang tersimpan begitu rapi hingga seseorang membocorkannya sedikit demi sedikit.

Berpedoman pada note yang ia kumpulkan. Ia memilih untuk pergi ke alamat yang tadi ia dapatkan di loker sekolah terlebih dahulu. Karena hanya note itu yang begitu jelas untuk di mengerti, sebuah alamat. Langkah kakinya menuruni anak tangga dengan cepat.

Semua anggota keluarga yang tengah berada di lantai bawah memperhatikan Adara dengan heran. Tak seperti biasanya gadis itu pergi. Biasanya gadis itu akan menghabiskan seluruh waktunya di dalam rumah, dari belajar, menghabiskan waktu di dalam perpustakaan rumah, dan beberapa menit bermain gitar di dalam kamarnya. Gadis itu akan keluar rumah jika Nova mengajaknya keluar, ke minimarket ujung jalan, dan ke sekolah.

"Mau kemana, sayang?" Tanya Raka -papahnya- ia menatap dalam putri sulungnya, menanti jawaban dari Adara. Hena dan Bella yang tengah berada di dapur pun ikut menoleh pada Adara.

"Keluar sebentar, pah. Boleh ya?"

"Sama siapa? Nova?"

Adara menggelengkan kepalanya. "Bukan. Adara sendirian, tempatnya ngga jauh jauh amat kok, pah, bolehin ya."

Raka menghela nafasnya kasar kemudian menganggukkan kepalanya. "Tapi ingat pulangnya jangan malam-malam." Matanya menatap jam di pergelangan tangan kanannya. "Jam 6 sore harus udah sampai rumah ya."

Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, pah." Adara berjalan mendekati Raka dan juga Hena, bersalim dan mencium punggung tangan orang tuanya.

"Mau papah anterin?" tawarnya. Adara menggelengkan kepalanya. "Ngga perlu, pah, Adara udah pesen taksi online tadi."

***

"Perpustakaan nasional senja, jalan raya senja nomor 12, lantai 4," gumamnya.

Adara berdiri di depan gedung tinggi bertuliskan "Perpustakaan Nasional Senja." Pandangannya terus menatap gedung itu sejak 5 menit yang lalu. Ia memejamkan matanya kemudian melangkahkan kakinya memasuki perpustakaan. "Semoga gue bisa cepat menyelesaikan mistery ini dan dapat mencari tahu apa tujuan pengirim itu," Ia segera berlari menaiki tangga untuk menuju lantai 4 gedung itu.

"Hai, Ra," sapa petugas perpustakaan ketika Adara baru saja memasuki pintu perpustakaan di lantai 4. Adara menoleh, keningnya mengkerut, bingung. Mereka mengenal dirinya?

"Bukannya kamu baru aja kesini, Ra? Kok balik lagi? Ada yang ketinggalan, ya?" tanyanya.

Gadis itu semakin tak paham apa yang barusan petugas itu tanyakan kepadanya. Adara hanya menatap petugas itu tanpa menjawabnya.

Jika ia hanya diam, bagaimana ia bisa tau. Ia harus bertanya jika dirinya ingin tau jawabannya, mungkin saja petugas itu bisa sedikit membantunya. Gadis itu memejamkan kedua bola matanya sejenak dan melangkahkan kakinya mendekat pada petugas perputakaan yang tadi menanyainya.

"Ma--"

"Ra," panggil seorang gadis memotong ucapan Adara. Ia menoleh cepat ketika pundaknya di sentuh oleh gadis itu tadi.

Setelah cukup lama Adara menatap gadis itu. Ia memberanikan diri bertanya, siapa gadis itu, "maaf, lo-"

"Ah! Lo pasti lupa sama gue, ya, Ra. Secara sudah hampir satu tahun kita ngga ketemu karena gue pindah sekolah setelah insiden hari itu. Dan waktu itu kita ngga sempat kenalan secara resmi, mungkin hanya gue yang tau nama lo."

Insiden? Insiden apa yang gadis itu bicarakan? Ia tak paham. Bahkan sepertinya gadis itu belum pernah bertemu dengannya, tapi bagaimana mungkin gadis itu bisa mengenalnya? Apa gadis di hadapannya ini salah orang?

Adara menatap uluran tangan gadis itu di hadapannya. "Kenalin, nama gue Wening. Gadis yang waktu itu lo tolong ketika gue di bully habis-habisan di sekolah sampai akhirnya gue pindah sekolah. Terima kasih banyak atas pertolongan lo waktu itu, dan maaf baru sempat mengucapkan terima kasih sama lo," ujarnya.

Adara menjabat uluran tangan gadis itu dan menganggukkan kepalanya. Ia sengaja tidak memperkenalkan diri, karena sepertinya gadis bernama Wening di hadapannya ini tau sesuatu dan bisa sedikit memberikan informasi kepadanya.

"Eum ... maaf sepertinya lo tau banget tentang gue. Secara tadi lo bilang, hanya lo yang tau nama gue kan, sedangkan gue mungkin engga mengenal lo. Kenapa bisa begitu?"

Wening tertawa. Ia menarik pergelangan tangan Adara, membawanya memasuki lift daripada menaiki tangga. Gadis itu memencet tombol lantai 6.

Adara menatap ruangan di lantai 6. Ternyata gedung ini tidak hanya di isi perpustakaan tetapi juga ada tempat makan dan ibadah. Wening membawa Adara memasuki cafe di ujung barat dan memesankan beberapa makanan dan minuman.

"Siapa si yang ngga kenal lo, Ra. Gadis kutu buku yang suka memberantas pembullyan di sekolah. Satu sekolah pun juga tau kali, Ra, kalo lo itu Adira."

Adira? Adira siapa?

Satu informasi yang ia dapatkan. Gadis bernama Adira. Apakah gadis itu yang petugas perpustakaan kira bahwa itu adalah dirinya? Dan apakah gadis bernama Adira itu yang berada di dalam foto laci papahnya?

Ponselnya berdering, membuat gadis itu membuka tasnya. Ada sebuah pesan masuk.

Nova Altair
Lo dimana, Ra?

Perpustakaan

Perpustakaan?

Iya

Lah tapi .. tadi kata bokap lo, lo pergi keluar.

Perpustakaan nasional senja.

Oh, perpusnas. Gue kirain perpustakaan di rumah lo.

Gue susul lo kesana deh.

Adara mematikkan ponselnya tanpa membalas pesan dari Nova. Meskipun ia mengatakan tidak perlu menyusulnya, Nova pasti akan tetap menyusulnya. Ia memasukkan kembali ponselnya kedalam tas. Gadis itu menoleh ke depan dan menatap Wening. "Maaf, tadi ada pesan masuk."

****

Thanks to reading my story

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang