4. Hampa

16 5 1
                                    

Selamat membaca📖

=====
"

Ada banyak orang berlalu lalang. Silih berganti, datang dan pergi dalam hidupku. Tetapi hanya dia yang selalu aku ingat dan aku rindukan, karena uluran tangannya dikala aku terpuruk saat tak ada seorang pun yang memedulikan kesedihanku saat mereka tengah berbahagia."
=====


"Hanya tempat ini satu-satunya harapan gue. Hanya di tempat ini juga gue bisa menikmati musik dengan tenang. Tanpa aturan dan tanpa larangan." Pandangannya menatap ruangan gelap, sunyi, dan hampa di hadapannya.

Adara memejamkan matanya, menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya secara perlahan. Langkah kakinya mulai memasuki ruangan itu, menuju tempat paling pojok dekat jendela dan membuka kordennya sedikit. Membuat secercah cahaya mentari menerobos masuk menerangi tempat tertentu di dalam ruangan itu.

Ia berjongkok dan mengelus perlahan gitar yang bersandar pada tembok di bawah saklar lampu.

'Ceklek'

Gadis itu menoleh pada pintu. Seorang pemuda memasuki ruangan tersebut. Langkah kakinya langsung tertuju menuju jendela, memberi sedikit ventilasi udara di tempat itu. Pemuda itu masih juga belum menyadari akan kehadiran Adara di tempat itu.

Adara berdecak. Matanya terus mengikuti kemana pemuda itu berjalan. "Apa lo bisa keluar sekarang?!" Tanya Adara. Ah bukan pertanyaan lebih tepatnya intimidasi agar pemuda itu segera pergi meninggalkan ruang musik.

Pemuda itu menoleh pada sumber suara. "Ah! Maaf lo terganggu ya? Bukan maksud gue buat ganggu lo, kok. Gue ... gue cuma .. "

"Cuma apa?!"

"Gue cuma menjalankan tugas gue aja, kok. Maaf," ujarnya, kepalanya tertunduk merasa bersalah karena telah menganggu waktu Adara.

Tangannya bersilang di depan dadanya dengan sebuah gitar berada di pangkuannya. Gadis itu merotasikan kedua bolanya. "Tugas? Sejak kapan ketua osis melaksanakan tugasnya di ruang musik? Sepertinya lo salah ruangan. Ruang osis bukan disini, ini ruang musik. Dan lo bisa keluar sekarang juga, pintunya ada di sebelah kanan lo!" Tunjuknya pada pintu keluar.

"Tapi ..."

"Tapi apa lagi?! Gue mau lo keluar dari ruangan ini sekarang juga, Bintang!"

"Tapi ini bukan tugas osis, Ra. Ini pekerjaan sambilan gue di sekolah ini sebagai tukang bersih-bersih. Gue mohon ijinkan gue di ruangan ini. Gue janji ngga akan ganggu lo. Gue cuma mau membersihkan ruangan ini, setelah itu gue akan pergi dari ruangan ini, kok."

Tatapan tajamnya perlahan meredup, menatap Bintang dengan kepala menunduk dan kedua tangannya yang memegang sapu, alat pel, dan juga ember. Ia tak mempercayai ada seorang pelajar yang rela bekerja sambilan. Apalagi sebagai tukang bersih-bersih di sekolahnya. Apakah orang tuanya tidak sanggup membiayai sekolahnya?

Adara memejamkan kedua bola matanya. "Hm. Oke, inget ya, jangan berisik!" Bintang mengangguk menyetujui dan mulai menyapu ruangan itu terlebih dahulu.

Jari-jari lentik itu perlahan mulai memetik senar gitar di pangkuannya, membuat nada-nada yang indah untuk di dengar.

Kupejamkan mata ini🎶
Mencoba tuk melupakan🎶
Segala kenangan indah tentang dirimu🎶
Tentang mimpiku🎶

"Halo," sapa seorang anak laki-laki, tangan kanannya terulur kehadapan seorang gadis kecil yang duduk termenung di bangkunya.

Gadis itu menoleh dan enggan menyambut uluran tangan anak itu. "Apa?"

"Kamu kenapa murung? Ibu kamu mana? Ngga datang ya?" Tanyanya. Namun, gadis itu tetap diam tak memedulikan anak laki-laki yang duduk di sampingnya.

Tatapan gadis itu terus tertuju ke depan, enggan melihat kearah manapun. Tanggal 22 adalah tanggal yang akan selalu ia benci dan tanggal yang selalu ingin ia hindari dan musnahkan.

Semakin aku mencoba🎶
Bayangmu semakin nyata🎶
Merasuk hingga ke jiwa🎶
Tuhan tolonglah diriku🎶

Anak laki-laki itu beranjak dari duduknya. Tangan kanannya meraih tangan kiri gadis itu dan menariknya agar gadis itu mau mengikuti langkah kakinya.

"Lepas! Kamu mau bawa aku kemana?! Aku bilang lepas ya lepas!" Berontak gadis itu.

Anak laki-laki itu melepaskan genggaman tangannya ketika ia melihat seorang wanita paruh bawa berjalan mendekat kearahnya. Ia berlari dan memeluk wanita itu dengan senyum merekah di bibirnya. Adara melihatnya beberapa menit sebelum akhirnya gadis itu membalikkan tubuhnya. Setetes air matanya menetes dari pelupuk matanya.

"Bunda! Kenalin dia Adara. Siswi baru di kelas aku. Dia juga yang bantu aku dari anak-anak nakal di kelas!"

Entah dimana dirimu berada🎶
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu🎶
Apakah disana kau rindukan aku🎶
Seperti diriku yang selalu merindukanmu🎶
Selalu merindukanmu🎶

"Halo, nak Adara," sapa wanita itu.

Adara tetap diam.

"Bunda kamu mana, sayang?" Tanyanya pada Adara.

"Ngga dateng, ya?"

Adara tetap diam.

"Dara, ini bunda aku. Kamu juga boleh manggil bundaku sebagai bunda kamu, loh. Jangan sedih ya. Dia juga bunda kami semua di rumah warna." Adara menatap anak laki-laki itu yang tengah tersenyum, kemudian beralih menoleh pada wanita di hadapannya yang juga tengah tersenyum hangat padanya.

Anak laki-laki berjalan dan berdiri tepat di sebelah gadis itu. Tangannya merangkul bahu Adara. "Nanti kapan-kapan kamu main ya kerumah aku, Ra," ujarnya dengan senyum.

Tak bisa aku ingkari🎶
Engkaulah satu satunya🎶
Yang bisa membuat jiwaku yang pernah mati🎶 menjadi berarti🎶

"Maaf, Senja. Dara harus pergi. Senja jaga diri baik-baik ya,"

Namun kini kau menghilang🎶
Bagaikan di telan bumi🎶
Tak pernah kah kau sadari arti cintamu untukku🎶

Bintang yang telah selesai membersihkan ruang musik, membereskan peralatannya.

Saat beberapa langkah menuju pintu keluar, pemuda itu menatap Adara yang bernyanyi dengan begitu penuh pengkhayatan. Ia juga melihat beberapa kali Adara meneteskan air matanya saat menyanyikan lagu itu. Beberapa saat juga suaranya sedikit bergetar menahan tangis. Bintang berpikir, mungkin Adara tengah merindukan seseorang.

Entah dimana dirimu berada🎶
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu🎶
Apakah disana kau rindukan aku🎶
Seperti diriku yang selalu merindukanmu🎶
Selalu merindukanmu🎶
Apakah disana kau rindukan aku🎶
Seperti diriku yang selalu merindukanmu🎶
Selalu merindukanmu🎶

Adara menaruh gitar di pangkuannya di sofa sebelahnya. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Air matanya kembali menetes deras. "Senja." Panggilnya.

Setelah menghapus air matanya. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Memejamkan matanya dengan kepala mendongak. Menarik dan menghembuskan nafasnya secara perlahan, sedikit menenangkan hati dan juga pikirannya.

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan musik.

Bintang sudah pergi, sesuai janjinya.

Gadis itu menarik nafasnya kembali sedalam-dalamnya dan menghembuskannya secara perlahan. Beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya meninggalkan ruang musik.

***

Terima kasih sudah menyempatkan membaca karyaku. Jangan lupa untuk vote dan komen. Terima kasih♥️

Salam ka es, stnrmh

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang