Town Street

298 57 1
                                    

Tiga tahun lalu...

Tenggorokanku terasa kering, sepertinya aku sudah berbicara terlalu banyak sedari tadi. Tepat saat aku berhenti berbicara, keheningan langsung menyelimuti jarak sempit di antara kami yang sedang berjalan keluar dari area kampus ini, membuatku tersadar bahwa sejak tadi orang yang kuajak bercerita tidak mendengarkan.

Orang itu adalah Jeongwoo. Bukannya memperhatikan perkataanku, laki laki ini justru sibuk pada ponselnya, entah apa yang ia lakukan.

"Jeongwoo, apa kau mendengarkanku?"

Ia menoleh, lalu terkekeh dan menjawab, "maafkan aku. Sedang ada masalah di ruang musik dan Kyle terus menghubungiku."

Alisku terangkat. "Apa seserius itu? Memangnya ada apa?"

Jeongwoo menggeleng, menunjukkan senyumannya seraya merangkulku dan berkata, "kami kehilangan cadangan senar gitar kami. Mau menemaniku membelinya setelah ini?"

"Kau serius? Semalam ini?"

Dua jam lagi tanggal sudah akan berganti, namun kami bahkan baru berjalan menuju halte bus untuk pulang.

"Tenang. Klub kami punya toko alat musik langganan yang akan tetap membukakan pintu mereka bahkan di tengah malam."

Aku hanya mengangguk angguk mendengar jawabannya.

Tiba tiba Jeongwoo berkata, "menginaplah di tempatku. Junghwan terus bertanya kenapa kau tidak pernah datang, sampai ia mengira kalau kita putus."

Tawaku langsung terdengar di trotoar yang lumayan sepi ini. "Aku ingat baru pekan kemarin aku terakhir kali berkunjung."

"Aku tahu. Tapi dia kan memang berlebihan." Balas Jeongwoo.

Kemudian ia tertawa sendiri. Namun sebelum aku sempat bertanya ia lebih dulu berkata, "aku juga merindukanmu. Rasanya sudah lama aku tidak memakan sup buatanmu."

Aku terkekeh, lalu menyerngit ke arahnya. "Kau hanya merindukan masakanku?"

Jeongwoo melebarkan matanya. "Tidak! Aku merindukanmu juga! Aku tidak bisa tidur nyenyak akhir akhir ini karena kau tidak ada."

Lagi lagi aku tertawa. "Berlebihan sekali. Aku tidak percaya. Karena yang baru saja berbicara ini adalah orang yang bahkan bisa tidur nyenyak di dalam toilet sekalipun."

"Hey, aku tidak begitu!"

"Tidurku benar benar nyenyak hanya saat kau ada di sampingku. Aku serius," ucapnya.

Dengan refleks bola mataku berotasi. "Aku yakin kau pasti banyak bermain dengan Sam akhir akhir ini."

Kulihat mata serigalanya melebar. "Si playboy itu? Aku bahkan tidak punya nomornya!"

Ia lalu mempererat rangkulannya padaku. "Ayolah menginap saja. Lagi pula besok kan hari libur."

Kring! Kring!

Tiba tiba sebuah sepeda melaju cepat melewati kami. Gagangnya sedikit menyenggol lengan kiri Jeongwoo membuatnya sedikit oleng ke arahku.

Pengendara sepeda itu sempat berhenti untuk minta maaf. Namun Jeongwoo terlihat tidak peduli dan membiarkan orang itu pergi.

"Astaga. Kau tidak apa apa?"

Jeongwoo menggeleng sambil terkekeh. "Hanya lecet sedikit. Tapi akan sembuh jika kau merawatku malam ini."

Aku langsung memukul punggungnya, mencebikkan bibir dan berkata, "aku sudah akan mengiyakan tawaranmu jika kau tidak berkata seperti itu."

Matanya langsung melebar, lalu mimiknya merengut. "Oh, ayolah. Aku akan membawamu jalan jalan besok."

Aku tidak menjawab apa apa, hanya mengeluarkan ponsel dari saku cardiganku dan menyalakannya.

"Jiaa... Ayolah maafkan aku. Setidaknya jadikan Junghwan sebagai alasanmu untuk datang." Jeongwoo mengayunkan tanganku yang bebas.

Aku menatapnya. "Diamlah. Aku sedang menghubungi Tiffany agar ia tidak menungguku pulang."

Bisa kulihat matanya langsung berbinar. "Yeaaay!!"

Detik selanjutnya satu kecupan mendarat di pipiku, membuatku langsung meliriknya dan berkata, "jangan macam macam, ini tempat umum."

Jeongwoo tertawa. "Ayo pulaang~"

"Bukankah kau tadi bilang ingin membeli senar gitar?" Tanyaku.

Ia menatapku, wajahnya seperti baru saja tersedar akan sesuatu. "Astaga, untung kau mengingatkanku."

"Kalau begitu ayo cepat beli lalu pulang! Aku yakin Junghwan menunggumu." Ajaknya.

Sudah tiga tahun berlalu sejak kejadian itu. Entah mengapa aku merasa bodoh dengan mengira bahwa tahun tahun selanjutnya akan sama.

Nyatanya tidak. Buktinya saat ini aku berjalan sendiri di trotoar yang sama. Tanganku membawa tumpukan kardus berisi keperluan praktek yang perlu kubawa pulang.

"Jia!"

Aku terpaku, melihat sosok orang yang sedang memanggil namaku sambil berlari kearahku itu.

Jeongwoo?

"Kau terlihat butuh bantuan. Sini biar kubantu." Ia mengambil alih dua kardus dari tanganku, menyisakan hanya sekotak yang kubawa.

Sementara itu aku masih terdiam, tidak mampu berkata kata.

"Jia? Hey, kenapa diam saja? Ayo jalan! Aku akan mengantarmu."

Bisa kurasakan mataku memanas. "K-kau..."

Orang itu memiringkan wajahnya, memasang wajah khawatir tepat dihadapanku. "Kau menangis? Ada apa?"

Aku berkedip saat pandanganku mulai buram. Begitu kembali jelas, aku langsung tersadar bahwa yang di depanku ini bukan Jeongwoo, melainkan Sam.

"Kau baik baik saja? Apa ada masalah?" Tanyanya.

Aku menggelengkan kepalaku cepat cepat. Orang yang sedang berdiri di depanku, membantuku membawa barang ini adalah Sam.

Jujur saja, aku kecewa, walaupun tidak terkejut juga.

"Ayo jalan saja. Terima kasih sudah membantuku." ucapku dingin, kemudian berjalan cepat menuju halte bus.

All Too Well | Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang