Capucinno

16 8 4
                                        

"Aku mengerti saat kita sudah sedekat nadi kau  malah memilih untuk pergi. Sungguh menyakitkan. Aku hanya berharap semoga setelah ini tidak ada hari untukmu datang kembali dengan sesal yang sudah lama basi."

_______

“Mai ...?”

“Euh, iya. Ada yang menunggu saya. Jadi saya harus segera tiba di rumah,” aku menyahut dengan geragapan. Berharap dia tidak mengajukan pertanyaan berikutnya. Tapi aku salah.

“Siapa. Apa suami kamu?” Raut kecewa terlihat samar di garis wajahnya. Ya, jika aku tidak salah.

Ini menyebalkan sekali. Aku paling benci memberi jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Seakan membongkar aib yang seharusnya tersimpan rapi.

“Maikana, jawablah. Saya menunggu.”

“Memangnya apa kepentingan anda terhadap saya. Terserah saya mau jawab apa nggak,” tukasku dengan geram. Apa-apaan dia? Dia kira siapa dia, merasa punya hak memaksa orang?

“Baiklah. Kalau kamu nggak mau jawab. Saya tahu kok jawabannya.” Dia menyengir menjengkelkan membuat sontak menoleh padanya.

“Apa maksud anda?!”

Dia terkekeh menampakan deretan giginya yang rata. Namun sebelum dia merespon terdengar ponselnya bergetar. Dia berbicara tegas dan sepertinya mengenai mobilku yang sudah di bawa ke bengkel. Syukurlah mudah-mudah bisa dibereskan dengan cepat. Aku paling malas kalau harus nebeng Kak Sarah sepanjang jalan pasti dia akan bicara panjang lebar menasehatiku. Rasanya telingaku mau jebol. Lebih senang berkendara sendiri bebas menentukan arah.

“Kamu masih sendiri Mai, tapi saya nggak tahu apa seseorang yang membuat kamu pernah sebegitu terpuruknya seperti yang saya lihat malam itu suami kamu, atau pacar. Saya nggak tahu. Yang jelas kamu sangat merasa kehilangan.”

Merasa peryataanya mendekati kebenaran ulu hatiku merasa teriris-iris. Bagaimana orang asing seperti dia begitu peka pada keadaanku.

“Terserah. Suka-suka anda menerka-nerka tentang saya.”

Sebenarnya kata-kata itu hanya sebentuk perlindungan diri saja. Aku tidak mau belum apa-apa laki-laki ini menguliti kehidupan pribadiku. Yang jelas aku tidak tahu siapa dia. Boleh jadi dia laki-laki brengsek yang kerjaannya mempermainkan hati wanita.

“Kamu jangan memelototi saya seperti itu. Tenanglah saya tidak seperti apa yang di kepala kamu.”

Aku terperanjat merasa tartangkap basah. Kualihkan mata seraya mengembuskan napas kasar. Kulihat mobil yang dia kendarai memasuki sebuah jalan yang dikanan kanan-kirinya dipadati kafe dan kedai kopi Deretan kursi dengan meja berjajar rapi hampir menyentuh badan jalan. Lampu-lampu yang menempel di beberapa pohon dan tanaman hias bagai kunang-kunang yang gemerlap. Memberi kesan tenang sekaligus menyenangkan. Sudah lama sekali aku tidak mampir ke tempat seperti ini. Dulu sebelum menikah kami sering melakukannya. Mencuri-curi waktu senggang diantara kesimbukan masing-masing. Biasanya akulah yang menentukan kedai mana yang akan kami kunjungi dia cenderung menngikuti kemauanku.

‘Aku suka apapun yang kamu suka, Mai.’

Ucapnya setiap kali kuminta pendapat pada satu hal. Apapun dia menyukai pilihanku. Tetapi sekarang aku sadar. Sejatinya dia tidaklah menyukai apa yang aku suka. Namun, lebih karena dia saat itu amat mencintai aku. Seolah apa yang dia lakukan demi menyenangkan aku. Setelah rasa itu terkikis barulah terlihat jelas betapa perbedaan aku dia sangatlah kentara. Hanya masalah waktu saja.

“Kita turun. Saya mau traktir kamu. Sengaja nggak pergi ke restoran kamu biar kita bisa santai sedikit. Kalau di sana tentu banyak yang mengenal kamu.”

Izinkan Aku Menjadi  Ibu Untuk Anak-AnakmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang