Musim semi, 2005
"Demi Tuhan! Kau mencintainya ... kan?"
Untuk ke sekian kalinya yang dapat dilakukan oleh Harry hanyalah mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Sekali waktu, ia akan memasang wajah angker. Dan lain kesempatan hanya ekspresi datarnya yang muncul. Namun, semua itu hanya ia berikan kepada seseorang yang tiba-tiba membuka ruang kerjanya, melempar sembarang sepatu dan juga kemejanya, lalu duduk di sofa ruangan ini dengan wajah ditekuk. Oh, tidak lupa dengan mata redup seolah ia manusia paling berduka di dunia.
Itulah deskripsi pertama yang mampu ditulis Harry untuk sahabatnya, Thomas. Biasa dipanggil Tommy, Tom, atau Pengecut. Yang terakhir adalah panggilan khusus darinya. Tom ―chicken― Holland. Pemuda yang begitu pulang setelah melakukan pekerjaannya sebagai fotografer untuk London Fashion Week langsung datang kepadanya dengan ekspresi sendu. Sorot matanya sudah memudar semenjak sebulan lalu. Ya, sebulan yang menyebalkan untuk Harry. Karena ia harus merangkap pekerjaan. Menjadi seorang desainer paruh waktu dan juga orang tua asuh bagi Tom. Padahal, jarak usia mereka hanyalah sekian bulan. Ia bahkan lebih muda daripada Tom. Namun, kelakuan pemuda itu tak lebih dari seorang bocah berusi lima tahun yang sedang merajuk menginginkan mainan favorit.
"Kurasa ada yang tidak beres denganku," ucap Tom ketika itu.
Masih teringat jelas. Bagaimana malam musim semi itu, Tom datang ke tempatnya. Masih dengan pakaian lengkap. Kaos oblong yang didobel dengan kemeja, celana jeans hitam, sepatu kets, dan seperangkat kamera. Tahu benar bahwa Tom baru saja selesai dengan pekerjannya. Fotografer yang sedang naik daun. Tidak terbayang bagaimana tahun ini Tom menghasilkan banyak uang. Lebih banyak darinya yang bisa 17 jam dalam sehari duduk di depan komputer menyala.
"Harry, kubilang ada yang salah denganku!" pekik Tom.
Pemuda itu langsung membanting tubuh ke sofa tanpa melepas sepatu terlebih dahulu. Satu hal yang paling dibenci oleh Harry dari Tom. Tentu saja selain perubahan perasaan sahabatnya itu yang sedemikian cepat. Padahal pagi tadi, Tom hanya mengatakan sepatah kata, bahwa mereka tidak bisa datang ke pub seperti biasa ―bagian ritual antar pria 20-an― setiap malam akhir pekan. Yang tentu saja membuatnya agak kecewa. Pasalnya mereka sudah berjanji akan mendatangi beberapa perempuan yang sempat ditemui minggu lalu. Namun, melihat penampakan Tom begitu kembali, Harry akhirnya menelan bulat-bulat kekecewaannya. Karena ada hal lain yang paling ia sesali: berubah menjadi pengasuh, konsultan, sekaligus tempat Tom memuntahkan kekesalan.
"Seharusnya kau pergi saja ke psikolog, keadaanmu mengkhawatirkan."
"Bagaimana?" Tom bangkit dengan kecepatan kilat. Ia menegak habis kopi Harry yang berada di samping komputer pemuda itu. "Bagaimana mungkin aku berdebar padahal kami baru sekali bertemu?"
Harry memperlihatkan wajah paling datar miliknya. Sudah mafhum dengan ocehan Tom semenjak berhari-hari lalu. "Ajak dia bertemu kembali dan pastikan kau tidak datang menemuiku sebelum dadamu berhenti berdebar-debar," ucapnya cepat. Ia mengaduh ketika Tom mencengkeram kerah bajunya.
"Kau benar!"
Tak lama setelah itu, Tom pergi begitu saja dari ruangannya. Dan, pemuda itu baru kembali hari ini. Dengan ekspresi yang sama dengan pertama kali dulu ia mengacaukan harinya. Tom memasang wajah sendu dan ekspresi tanpa tenaga. Berbaring di sofa ruangannya dengan kedua tangan yang digunakan sebagai bantal. Padahal jika mau bergerak sedikit saja, ada bantal menganggur.
"Jadi, kau gagal mendapatkannya?" Harry bertanya lagi. Kali ini dengan suara lembut. Ia memijat pelipis begitu Tom hanya membalasnya dengan embusan napas panjang.
"Bukankah kalian bekerja bersama?" tanya Harry lagi.
Keadaan ruangan itu cukup hening sekarang. Tom masih berbaring dan menatap langit-langit, dan Harry mulai bosan menyaksikan sahabat karibnya itu memang benar-benar pantas menyandang nama Pengecut. Ia lantas kembali ke pekerjaannya. Tidak lagi memerhatikan seseorang yang memang nampak membutuhkan psikolog sekarang ini. Tak berselang lama, suara jemari beradu dengan papan ketik kembali terdengar. Mengisi kehampaan ruangan itu untuk beberapa saat kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] DAISY'S DIARY
FanfictionRoséanne Chaeyoung Holland-Park Ia selalu menyiapkan tiga piring di meja makan tiga kali sehari dalam seminggu. Selalu menyiapkan air hangat begitu senja tiba, berikut dengan sampo aroma lavender dan sabun mandi beraroma sama. Meskipun ia tahu kab...