Memulai untuk berakhir

166 14 1
                                    

Waktu sudah hampir menginjak tengah malam, namun Rosie masih terjaga di depan bingkai jendela kamar yang terbuka, sorot matanya terus memperhatikan sekitar. Berharap jika batang hidung David segera terlihat didepan mata.

Benar. Sejak kepergiannya tadi pagi dengan alasan membeli makanan nyatanya hingga saat ini tak juga kunjung kembali. Rosie pun sedari tadi tak tinggal diam, dia terus mencoba menghubungi David walaupun tak ada satupun jawaban atas panggilannya.

Maaf. Nomor yang anda tuju tidak terdaftar.

Rosie kembali bergeming, menggenggam benda pipih itu kuat-kuat. Sudah lebih dari 100 kali panggilan yang Rosie lakukan namun masih saja tak membuatnya menyerah.

Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi membuatnya bergidik, David yang tidak mengetahui apa-apa tentang Berlin, laki-laki berdarah Amerika itu membuatnya khawatir.

"Bagaimana jika dia tersesat dan-" Ucapannya tertahan dikerongkongan, Rosie menggeleng dengan cepat untuk menyingkirkan pikiran buruk yang perlahan memenuhi kepala.

"Tidak-tidak. Tidak mungkin-" Rosie masih mencoba untuk positif thinking, menunggu David pulang ke rumah dengan selamat. "Lalu kamu ada dimana, David?"

Rosie mengusap wajahnya dengan kasar lalu menengadah, memperhatikan langit-langit kamarnya seolah mereka akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

"Bagaimana jika dia tenggelam dan terbawa arus? Atau jatuh ke jurang dan pingsan?" Helaan napas berat mengudara. Sulit sekali untuk tetap berfikir positif, Rosie tidak tahan lagi dengan semua kemungkinan yang berhasil membuat kepalanya berdenyut.

"Gosh. David, tell me where you are right now!?"

Sebenarnya tadi siang Rosie ingin mencari keberadaan David dan meminta Grace juga Javier menemaninya, namun gadis pemilik gummy smile itu menolak mentah-mentah ajakan Rosie dengan alasan; "Kamu bahkan belum pulih sepenuhnya, Rosie. Kamu masih lemah, aku tidak akan membiarkanmu keluar rumah. Sekarang biar aku dan Javier saja yang mencoba mencarinya."

Sial. Rosie berdecak, mendadak menyalahkan diri sendiri, jika saja dia dalam keadaan yang baik-baik saja mungkin David sudah bisa ditemukan dan kembali dibawa pulang.

Namun mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur dan yang sudah terjadi tak akan pernah bisa diulang kembali. Bahkan setelah kematian ayahnya secara mendadak juga diikuti menghilangnya David membuat perasaannya getir.

Entah kenapa sekarang Rosie mendadak ketakutan. Bukan, bukan seperti takut pada ketinggian atau film horor yang sering dinyalakan oleh Grace. Melainkan takut dengan kata 'kehilangan'.

Selama bertahun-tahun, entah sudah berapa kali Rosie merasakan kehilangan yang singgah memberikan bumbu pahit pada kehidupannya. Rosie sudah terbiasa hingga membuatnya mati rasa, namun akhir-akhir ini setelah David berhasil menggoreskan warna pada bingkai gelap dalam hidupnya, Rosie kembali lagi enggan menerima kehilangan seperti yang telah berlalu.

Semesta pun tahu jika Rosie baru ingin memulai, setidaknya dia butuh dukungan untuk melanjutkan kisahnya, namun ternyata yang dia dapatkan hanyalah hambatan.

Rosie menghela napas satu kali, kemudian menyalakan ponselnya dan menghubungi sahabatnya; Grace. Gadis itu selalu cepat merespon panggilan Rosie, panggilan itu tersambung.

"Halo?"

"Grace! Bagaimana? Kamu sudah menemukan David?"

"Astaga. Begini Rosie, aku baru saja pulang setelah sia-sia mencari keberadaan David yang entah ada dimana. Mencari orang hidup tidak semudah itu, sahabatku."

LOSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang