Prolog

202 7 0
                                    

Hujan malam mengguyur kota Jakarta. Cuaca sangat dingin, jalanan terlihat sepi dan hanya beberapa kendaraan yang melintas.

Langit hitam dan gelap, sangat mencekam.

Seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam, diam dihalte bus. Terlihat menyeramkan, orang yang tak sengaja melihatnya pun sampai ketakutan. Auranya sangat kuat dan gelap.

Dia adalah, Revan.

Laki-laki misterius yang membuat siapapun merinding ngeri saat melihatnya.

Tak ada yang tau mengapa dia berdiam diri, tanpa melakukan apapun saat malam seperti ini.

Hingga ada seorang perempuan berlarian kearah halte, untuk berteduh.

Baju perempuan itu basah, rambutnya pun sudah basah, mukanya yang mulai pucat, dan tubuhnya yang menggigil.

Revan tak peduli, meliriknya pun enggan. Baginya, hidup adalah tentangnya, hanya dia, dan dia, tak ada untung apapun baginya saat dia ikut berbaur dengan lingkungan sekitarnya.

Perempuan tadi duduk sambil memeluk dirinya sendiri, seoalah memberikan kehangatan.

Kali ini jalanan sudah benar-benar sepi, tak ada lagi yang melintas, bahkan yang terdengar hanya suara hujan yang turun semakin lebat.

Revan masih terus diam, tanpa bergeming. Sedangkan perempuan yang berteduh tadi seoalah cemas, karena hari yang sudah larut malam, hujan tak kunjung reda.

Perempuan itu membuka tas nya, mencari sesuatu yang berada didalamnya.

Dia mengeluarkan benda pipih dan memeriksanya, "yah, handphonenya mati lagi."

Perempuan itu semakin resah, bagaimana caranya untuk pulang, ponselnya mati, hujan yang deras, dan sudah larut malam.

Dengan tubuh yang mulai melemas dia memberanikan diri untuk menghampiri Revan.

"Permisi, boleh aku minta bantuan kamu?" tanyanya sambil menunduk.

Tapi, Revan tak bergeming sama sekali.

"Aku mohon, aku ga tau caranya pulang, hujan belum juga reda. Aku sangat lemas," jelasnya lagi sambil memelas.

"Ga ada untungnya buat gue," Revan bersuara.

"Aku mohon." perempuan itu menggenggam tangan Revan yang hangat.

Revan melihat tangannya yang digenggam perempuan itu.

"Mohon," melas perempuan itu ingin menangis.

Revan menghempas tangan perempuan itu kasar.

Saking lemasnya, perempuan itu terjatuh menyentuh tanah. Kepalanya terasa sangat pusing, seakan goyang.

"To--long... "

Setelah mengucap kata terakhirnya itu, perempuan itu pingsan tak sadarkan diri.

Revan melihat perempuan itu sekilas, "menyusahkan!" Revan pergi begitu saja.

Sungguh tega.

Revan berlarian menerobos hujan.

Tak disangka ada seorang perempuan dengan  payungnya menghampiri Revan.

"Heh! Harusnya kamu bantu perempuan tadi, dia minta tolong sama kamu! Tapi, kamu malah mengabaikan dia. Dimana letak hatimu, heh!" ujar perempuan itu dengan nada tinggi. Ternyata perempuan itu sedari tadi memperhatikan Revan.

Revan tersenyum miring, menatap mata perempuan itu. Berani sekali dia berbicara seperti itu padanya.

"Mengapa melihatku seperti itu? Harusnya kamu simpati dikit sama lingkungan sekitar kamu!" ucap perempuan itu lagi dengan eskpresi mukanya yang terlihat kesal.

Revan tak menjawab, hanya saja dia menggenggam tangan perempuan itu saat perempuan itu hendak menudingnya dengan jarinya.

"Lepasin!" gertak perempuan itu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Revan.

Tapi, bukannya melepaskan, Revan justru memperkuat genggamannya dan menepis jarak diantara keduanya. Hingga mereka berdua berada di satu payung yang sama.

Perempuan itu tampak mulai gelisah.

"Menjauh dariku!" ucap perempuan itu.

Revan tak perduli, dia mulai mendekatkan bibirnya dengan telinga perempuan itu.

"Lo, udah masuk dalam kadang gue."

MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang