Sebuah Kode.

640 106 13
                                    

Saya make POV 3 di chapter ini, ya. Jadi jangan bingung. Setiap chapter bakal saya ganti-ganti POV nya, gapapa 'kan?

                          Happy Reading!

Suasana Caffe makin lama, makin ramai oleh pengunjung. Suara-suara mulai terdengar di penjuru sudut, tidak membuat sepasang manusia berjenis kelamin berbeda merasakan risih. Mereka malah sedang menikmati hidangan di depan mata dengan tenang.

"Far," panggil pemuda berbaju hitam dipadukan celana jins krem.

Perempuan berwajah blasteran Korea menoleh. "Ngapa?"

"Ghifari!" seru Pemuda penuh tekanan.

"Apa si, Eliza." Perempuan itu berusaha menahan kesal.

"Lo udah dapet petunjuk belom?" tanya Eliza yang jiwanya masih berada di tubuh Ghifari.

Ghifari yang jiwanya masih ada di dalam tubuh Eliza sontak menggeleng. "Gue belom dapet petunjuk sama sekali. Bahkan nenek-nenek itu pun belom pernah muncul lagi setelah hari itu."

Eliza menyeruput minuman Fanta floatnya dengan sekali sedot. "Tadi malem, orangtua Lo berantem lagi. Bahkan tadi malem lebih parah dari biasanya, Nesa sampe datengin gue di kamar." Eliza menjelaskan kejadian tadi malam yang masih terekam jelas di dalam otak. "Gue gatega liat Nesa nangis."

Ghifari menghela napas panjang. "Tinggal cerai apa susahnya, si."

"Lo kalo ngomong dijaga, bodoh. Nesa masih butuh kasih sayang dari orangtua lo." Eliza mendelik tak terima dengan ucapan Ghifari. Apa-apaan dia main berbicara tanpa disaring terlebih dahulu.

Eliza tau dampak dari perceraian kedua orangtua Ghifari bagi Ghifari biasa aja. Tapi enggak dengan Nesa. Dia masih belia, pikiran Nesa Belum sedewasa itu untuk menerima perceraian kedua orangtuanya.

Dan itu pasti akan berdampak buruk bagi Nesa. Eliza tidak mau Nesa merasakan hal yang tidak akan pernah dibayangkan oleh anak seusia Nesa.

"Dari pada berantem tiap hari, mending cerai aja 'kan?" Ghifari menaikan alis. Menurut Ghifari itulah yang terbaik untuk kedua orangtuanya. Dari pada berantem tiap hari bikin kuping panas, lebih baik cerai bukan?

Eliza menjitak kepala Ghifari yang notabennya adalah kepalanya. "Otak Lo dangkal."

Ghifari meringis pelan mengusap kepala yang dipenuhi rambut panjang bergelombang milik Eliza. "udah ah skip, katanya lo ada yang mao diomongin tadi?"

Seakan ingat tujuannya mengajak Ghifari ketemuan Eliza menegakan badan. Raut wajah Eliza berubah menjadi serius, begitupun suasana di meja mereka berdua menjadi lebih tegang.

"Kemarin malem gue mimpi, dan mimpinya tuh kaya kode buat kita. Tapi gue gak ngerti maksud dari mimpi gue tadi malem, mimpi itu terlalu aneh dan sulit ditebak." Eliza menjelaskan mimpi tadi malam yang sangat diyakinkan adalah kode untuknya dan juga Ghifari.

"Kode? Kode gimana? Apa isi dari mimpi lo tadi malam?" tanya Ghifari penasaran.

"Mimpinya terlalu aneh, ada gambar kalender tapi bulan desembernya tuh dibuletin, gue gak ngerti maksudnya apa.

"Terus ada huruf D, dan juga gambar hitam titik-titik cahaya."

Ghifari langsung berpikir setalah Eliza selesai mengucapkan kode-kode yang ada di dalam mimpinya itu.

"Gambar kalender dengan bulan Desember dibuletin, huruf D dan juga gambar hitam titik-titik cahaya." gumam Ghifari mencoba mencari jawaban atas kode-kode yang lumayan aneh.

Eliza juga tampak berpikir dengan sekali-kali memukul kening kala jawaban tak kunjung datang.

Lima menit berlalu mereka masih sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, tanpa sadar waktu berlalu begitu cepat.

"Masuk akal gak si kalo maksud dari kalender yang bulan Desembernya di buletin tuh pertanda bahwa maksud dari kilasan slide itu tertuju pada bulan Desember." papar Ghifari yang sudah mendapatkan titik terang. Tumben-tumbenan otak dia mau diajak kerja sama kali ini.

Eliza mengangguk. "Masuk akal juga, kayanya kode ini terpaut sama waktu gak si? Coba lo angkain kode-kode itu."

"Bener! Lo bener! Kode itu menunjukan waktu tepatnya tanggal. Bulan Desember urutan ke dua belas dari satu, dan huruf D, dia urutan ke empat dari huruf abjad." Ghifari berseru dengan semangat, dia berhasil memecahkan kode dengan cepat. Walaupun tidak terlalu cepat. Tapi Ghifari sangat bangga dengan pencapaiannya kali ini.

Eliza bertepuk tangan ria. "Bagus kita udah nemuin dari dua kode tersebut. Sekarang giliran gambar hitam titik-tituk cahaya."

Ghifari kembali berpikir bedanya lagi dia berpikir sambil memandang langit malam yang sudah lumayan dihiasi banyak bintang. Duduk di pojok Caffe memudahkan dia melihat dengan jelas pemandangan langit malam.

Memandang langit malam dengan saksama Ghifari mengerutkan dahi berpikir. "Gambar hitam titik-titik cahaya, mungkin gak si kalau artinya tuh malam? Gambar hitam menggambarkan langit malam, dan titik-titik cahaya mengarah ke bintang-bintang yang menghiasi langit malam?"

Eliza mengikuti arah pandang Ghifari dia melihat gelapnya awan malam berwarna hitam dengan dihiasi banyak bintang. Yang diomongin Ghifari memang benar adanya.

"Jadi," Suara Ghifari mengudara.

"Tanggal dua belas bulan ke-empat, di malam hari." pekik Eliza dengan suara bas milik tubuh Ghifari.

Ghifari tersenyum seraya mengangguk, akhirnya kode tersebut berhasil dipecahkan hanya dengan satu malam. Senyum Ghifari makin lebar, tetapi kemudian senyum itu lenyap digantikan wajah bingung.

"Terus maksud tanggal dua belas bulan ke-empat di malam hari apa coba?" Eliza yang sedang memasang wajah bahagia seketika luntur dengan pertanyaan Ghifari.

"G-gue juga gak ngerti maksudnya apa, Far. Argh! Kenapa setengah-setengah si dapet kodenya," erang Eliza mengacak rambut tertata rapinya.

"Woi, jangan diacak gitu dong rambut gue. Kalo botak gimana!" Ghifari menahan tangan Eliza yang mengacak rambut milik tubuh Ghifari yang asli.

Eliza yang merasakan tangannya dipegang oleh tangan kecil mendongak, wajah asli Eliza yang berada tepat dihadapannya. "Et, ngapain si. Jauh-jauh lo."

Ghifari memundurkan badan.

"Baper ya?" Ghifari menaik-turunkan alis bermaksud menggoda Jiwa Eliza yang berada di tubuhnya.

"Baper gigi lo nungging!"

Ghifari terkekeh entah karena apa, padahal tidak ada yang lucu untuk di kekehin. Emang meresahkan nih anak. Eliza yang melihat Ghifari terkekeh mengerenyitkan dahi.

"Dih, kerasukan lo."

Kekehan Ghifari berhenti, dia berdeham singkat, lalu mengambil minumannya. "Ah lega."

Eliza menggeleng tak habis pikir dengan kelakuan Ghifari. Dia melihat handphone nya, mata Eliza membulat melihat sederet angka yang berjejer rapi disudut layar handphone.

"Ghifari! Lo harus segera pulang, sekarang udah jam 22:30. Kemaren Lo bilang 'kan kalo bang Dilan udah pulang?" Ghifari mengangguk mengiyakan ucapan Eliza.

Memang benar kalo bang Dilan---abang pertama Eliza kemaren sudah pulang. Ghifari menyaksikannya sendiri.

"Lo pulang sekarang! Inget sekarang Lo lagi ada di tubuh gue, otomatis nasib gue sekarang jadi nasib Lo. Gue gak tanggung jawab kalo lo diamuk bang Dilan, Lo tau 'kan kalo bang Dilan sama gue ada something yang gak bakal bisa gue jelasin." Eliza memasang wajah khawatir. Dia sudah merasakan disituasi seperti ini. Eliza gak mau kalau Ghifari juga merasakan berada di posisi dia seperti yang lalu.

Walau tak sakit di fisik tetapi membekas di psikis.

                                  •••••••
TBC ...

Jiwa Yang TertukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang