Eliza Chandani 4.

646 118 43
                                    

Entah kenapa percakapan Andi dan Martin di kantin tadi masih terngiang-ngiang di otak gue. Sebisa mungkin udah gue tepis percakapan mereka tetapi gak bisa.

Gue menggigit jari dengan keringat membasahi pelipis padahal AC di kamar nyala. Tapi entah dari mana datang hawa panas kaya gini.

Pikiran gue melayang bak layangan mengudara.

Demi apapun gue masih rada parno sama yang diomongin Andi dan Martin tentang salah satu anime berjudul Kimi no nawa.

Salah satu anime yang alurnya hampir sama dengan keadaan gue saat ini. Asumsi-asumsi negatif bersarang begitu aja. Gimana kalo  Ghifari grepe-grepe badan gue? Kaya tokoh laki-laki di anime Kimi no nawa.

Argh, gue gak bisa bayangin. Gue mengacak rambut kasar dengan menyandarkan badan ke sandaran ranjang. Semoga asumsi-asumsi negatif gue gak beneran terjadi.

Besok pokoknya gue harus memastikannya.

"Tapi gimana kalo si Ghifari bener-bener grepe badan gue?"

Ah shit! Eliza Lo gak boleh soudzon, Allah gak suka sama orang yang selalu soudzon. Ayo Eliza buang pikiran laknatmu sekarang juga.

"Abang!"

Gak lama setelah suara memanggil, decitan pintu terdengar. Seorang gadis ya lumayan cantik walaupun cantikan gue nongol dari balik pintu. Dia adiknya Ghifari---Nesa. Namanya Nesa Rahmawati Muzakki.

Akhir-akhir ini gue udah sering berinteraksi dengan Nesa, gua bisa nyesuaikan diri dengan baik. Dan selama ini pula kedekatan gue dengan Nesa bisa dibilang seperti hari Minggu ke Senin.

Gue berdehem singkat seraya menatap penuh tanya ke arah Nesa.

"Nesa pusing bang dari tadi denger mamah, papah berantem." Nesa langsung naik ke atas ranjang duduk di samping gue.

"Gausah didenger," jawab gue sambil meluruskan kaki yang terasa pegal.

Nesa mencebikan bibir mendekat ke arah gue dan langsung memeluk tubuh gue. Badan dia aga bergetar, kayanya si nih bocah nangis.

Tangan gue mengusap-usap kepala Nesa lembut, gue ngerti keadaan Nesa sekarang ini. Psikisnya pasti terguncang apa lagi dia masih cukup belia buat menghadapi situasi orangtuanya saat ini.

"Pergi anda! Saya sudah muak melihat muka anda!"

"Mah, pikiran baik-baik anak kita, jangan seperti ini."

"Saya gak sudi melihat wajah anda! Keluar anda dari rumah ini, besok saya akan urus dengan cepat surat cerai kita!"

"Mahh! Mah ..."

Badan Nesa makin terguncang akibat isak tangis kian meluap. Pertengkaran orang tua mereka sungguh hebat. Puncaknya malam ini.

Tidak ada lagi suara pertengkaran antara dua orang dewasa, sekarang hanya isak tangis Nesa yang terdengar menyayat hati Eliza.

"Bang, Nesa gak mau mamah papah cerai, hiks." Nesa menenggelamkan kepala di dada gue, ralat tubuh Ghifari.

Gue ngerti apa yang dirasain Nesa, sangat ngerti, saking ngertinya gue sampe gak bisa berkata-kata.

Nesa bocah kelas 8 SMP, anak broken home. Bisa kalian bayangin? Biasanya anak seusia Nesa sibuk dengan bermain getged, berpacaran, hunting-hunting dengan temannya, ketawa-ketiwi dengan lepas.

Tapi tidak dengan Nesa. Dia sibuk menutup kuping kala kedua orangtuanya bertengkar dan merenung dipojokan kamar setiap malam, gue selalu melihat dia seperti itu di kala malam datang. Sedih? Jelas gue sedih ngeliat anak seumuran Nesa yang harusnya senang-senang, ketawa dengan lepas dengan teman-teman. tapi dia malah merenung lepas di kala malam datang. Malam yang di mana waktunya untuk istirahat dia pakai untuk merenungi keadaan kedua orangtuanya.

Jiwa Yang TertukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang