Eliza Chandani 3.

931 147 44
                                    

Plang nama sekolahan 'SMA Guna Bangsa' terpampang jelas di kedua mata gue, langkah kaki masuk kedalam dengan ragu-ragu. Setelah Ghifari bercerita tentang dirinya sedetail mungkin gue langsung bisa ngeimbangi peran dengan benar, walaupun gak terlalu sempurna.

Sejauh kaki melangkah banyak pula mata yang memandang gue dengan tatapan er sangat menggelikan, mereka kira gue apaan coba sampe dipandangin segitunya, terutama kaum hawa.

Gua balas menatap mereka dengan mata memelotot sempurna, mereka tersentak melihat gue melotot. Apa sebegitu seremnya?

Tak mau ambil pusing dengan para cabe berkedok siswi, gue segera melangkahkan kaki kembali menuju kelas si Ghifari, 12. IPA 2.

Mata gue memandang bangunan-bangunan yang berdiri disekitar sekolah bertingkat tiga dengan luas yang hampir setara dengan lapangan stadion kecilan lagi.

Lapangan bersih dengan ditumbuhi beberapa pohon mangga dan jambu air, perpustakaan besar berdiri kokoh di dekat masjid sekolah. Tempat yang belum gue ketahui cuma kantin doangan, si Ghifari kagak ngasih tau gue letak kantin di mana, kata dia nanti juga temen-temennya bakal pergi kekantin jadi gue suruh ngikut aja kaya ekor.

Saking asiknya memandang suasana sekola SMA Guna Bangsa gue sampe nabrak cewe, naluri ilmiah dari badan ni cowok membuat gue menangkap badan cewe yang hampir terjatuh di depan gue.

Gue memegang pinggang dia dengan erat, saat gue melirik ke wajah tuh cewe, gue hanya mengerutkan dahi liat tatapan datar dia. Nih cewe gak berekpresi pisan.

Terus gue liatin wajah dia dengan saksama, cantik. Satu kata yang menggambarkan wajah cewe itu.

Tenang gue masih normal, gue cuma berpendapat sesuai fakta.

Dia langsung melepas diri dari kukungan gue dan menatap gue sekilas. Sekilas cuy sekilas. Ni cewe gak terpesona gitu sama visual tubuh yang gue tempati? Atau emang visualnya Ghifari ngga terlalu mempesona?

Gue menggaruk tengkuk yang tak gatal kala tuh cewe ngeliatin gue dari atas sampe bawah, gue merasakan ada hawa yang berbeda dari tubuh tuh cewe, entah apa. Gue gak tau.

Dahi gue kembali berkerut ngeliat tuh cewe memejamkan mata sebentar lalu membuka kembali dan menatap gue sekilas, abis itu dia langsung pergi begitu aja. Aneh.

Saat sampe di kelas gue langsung di serbu sama ketiga temen Ghifari, gila gak sih. Gak tau aja mereka kalo jiwa yang nempatin tubuh Ghifari adalah cewe.

"Far, gila lo si gak ikut kita tadi malem pesta di rumah si Yanto." Andi, iya pasti ini si Andi, Ghifari bilang temennya yang selalu mengemut permen miliki*a bernama Andi.

Andi menunjuk-nunjuk cowo di sampingnya yang sedang merenggut, sudah dapat dipastikan kalau itu si Yanto.

Menurut apa yang dibilang oleh Ghifari, kalau dia mempunyai tiga sahabat karib, berarti masih ada satu lagi. Di mana dia?

"WOI ... BROTHER!" Nah ini pasti personil satu lagi.

Gue memperhatikan cowok yang sedang perjalan dengan topi di putar kebelakang melangkah ke arah tempat gue duduk.

"Yo, Ma ... Ma ... Ma ... Martiiiiin!" Gue terlonjak kaget ngedenger si Andi teriak tepat di samping kuping gue dengan nada yang sangat menggelikan.

Kalian tau Animasi Vernalta? Nah seperti itu nada Andi memanggil Martin. Sangat membagongkan, bukan?

Martin langsung duduk di atas meja, tepatnya di depan muka gue setelah bertos ria dengan Andi.

"Hei kawan kenapa kau tak ikut tadi malam?" Martin menatap gue penuh tanya, gue gak tau logat apa yang dia pake, selama masih fine-fine di telingan gue its oke. Diliat-liat dari segi visual Martin lebih tampan dari Andi dan Yanto. Bukan maksud gue buat FaceShaming, emang kenyataannya kok.

Jiwa Yang TertukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang