Apakah ini mimpi? Aku mencubit keras lenganku. Aww sakit!
Ini bukan mimpi! Tapi ini mimpi yang menjadi kenyataan. Ya Tuhan.. Mimpiku dulu yang selalu ku khayalkan bahwa aku akan menjalani kehidupan rumah tangga bersama sahabatku kini sudah menjadi nyata. Terimakasih ya Allah meski aku tak tau akan seperti apa kehidupan kami kedepannya, setidaknya saat ini aku bahagia. Dan aku berharap ini akan selamanya.
Meski kutau bahwa roda harus berputar untuk dapat menjalankan kendaraan. Begitupun kehidupanku. Kebahagian-kesedihan itu biasa setidaknya sekarang aku tak berjalan sendiri tapi aku mencoba menggenggam tangan seseorang disamping yang inshaAllah akan menuntunku, menjadi imam-ku dunia akhirat. Aamiin
Kini Dinal sudah sah menjadi suamiku. Suami. Ah aku masih suka merona ketika memikirkan satu kata itu.
Akad yang dilaksanakan tadi pagi berjalan lancar. Tapi aku benar-benar gugup tadi pagi. Perasaanku campur aduk, senang gelisah, takut, gugup, ah pokoknya semua deh. Ini benar-benar pertama kali bagiku.
Kami masih berada di ballroom hotel -milik keluarga Dinal- melangsungkan acara resepsi pernikahanku dengan Dinal. Capek sekali. Rasanya sepertinya semua tulang-tulangku mau copot dari tempatnya. Otot-otot wajahku terasa kaku karna kebanyakan tersenyum.
Bayangkan saja 5000 tamu undangan yang hadir ke acara pernikahanku dan Dinal. Dinal yang berada disampingku kini pun terlihat sangat lelah.
"Apa kamu capek? Kalau capek duduklah dulu." kata Dinal dengan senyum kecilnya yang kutau dia juga sangat lelah. Aku hanya mengangguk menurutinya karna rasanya sudah tak sanggup walaupun hanya sekedar mengucapkan kata iya sekalipun.
Tanpa terasa akhirnya berakhirlah penantian panjangku. Ingin segera rasanya menghempaskan tubuhku ke tempat tidur dan terlelap tidur. Tapi nyatanya ini masih belum berakhir karna nanti malam masih akan ada acara kumpul keluarga besar Dinal dirumah mereka kata tante Elisa.
Ah setidaknya aku masih bisa beristirahat barang sejam. Aku terkaget saat Dinal masuk begitu saja tanpa mengetuk terlebih dulu sambil membawa koper bajuku yang tadi masih tertinggal dibawah.
"Astagfirullah Nal kamu tu ngagettin aja tau nggak? Kan bisa ketok dulu!" ucapku sambil mengelus-elus dadaku. Untung aja aku belum membuka gaunku. Kalau nggak bisa dipastikan kalau wajahku akan memerah padam karna malu.
"Loh, inikan kamarku kenapa aku harus ketok sih." sahut Dinal sewot.
"Iya tau tapikan ada aku didalam manatau kalau pas aku lagi ganti baju gimana? Ah hampir aja." kataku lagi yang tak kalah sewot darinya.
"Yah itu mah rejeki buatku hahahaa." seketika aku mendelik kesal padanya.
"Kamu tuh ya, orang lagi kesel juga udah gitu capek masih aja dibecandain!"
"Habisnya kamu juga sih. Lagi pula kita kan udah sah, nggak dosa juga kalau aku liat yang 'iya-iya' kan? Kenapa juga nggak ganti di kamar mandi sih?" ucapnya masih terkekeh geli. Bodoh! Iya ya, kenapa tak terfikir olehku tadi.
"Udah ah, mending aku mandi terus istirahat daripada ngeladenin kamu bikin tambah capek!" kataku sambil memeletkan lidahku kearahnya berlalu masuk kamar mandi.
"Yaudah sana gih, yang wangi ya istriku. Mau dibantuin bukain bajunya juga gak? Atau sekalian mau aku mandiin?" tawar Dinal dengan senyuman mesumnya kepadaku.
"You wish!" Sayup-sayup masih kudengar tawa puasnya dari dalam kamar mandi. Kata-katanya barusan berhasil membuat pipiku bersemu merah dan jantungku berdegub kencang.
"Kurasa aku harus memeriksakan jantungku ke dokter." gumamku pelan sambil masih bersender dibalik pintu dan memegang dadaku disebelah kiri. Loh! itu berarti aku harus memeriksakan jantungku sama Dinal dong, kan dia dokter jantung. Ah gilaa! Itu nggak mungkin banget. Yang ada jantungku akan berhenti mendadak karna kelelahan berdetak saking cepatnya ketika berdekatan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Begini
DiversosSampai kapan aku harus cinta begini? Harus selama apa lagi aku memendam perasaan ini? Apa sebaiknya aku pergi jauh, agar kubisa melupakan dirimu? Entahlah...