"Atas nama Auriga Arsa!" Aku berteriak sambil memandangi semua penjuru ruangan ini menanti siapa yang akan muncul mengambil pesanan kopi hitam di tanganku.Hembusan napas kecewa lolos begitu saja ketika melihat pria yang minggu lalu juga mengambil pesanan kopi ini. Bukan, bukan dia yang aku tunggu. Kalau dia, namanya Erlo. Jelas bukan Auriga Arsa. Aku tersenyum ramah sambil memindahkan kopi itu ke tangannya.
"Hari ini bukan Auriga Arsa lagi yang ngambil?" tanyaku dengan nada bercanda, tapi sebenarnya aku serius ingin tahu kenapa meskipun pesanannya selalu dinamai Auriga Arsa, tapi pria itu tidak pernah muncul.
Erlo mengangguk. "Sibuk dia," jawabnya.
Jawaban seperti itu membuatku mau tidak mau bermain tebak-tebakan dengan pikiranku sendiri. Jangan-jangan pria yang selama ini ada di kepalaku itu sudah bapak-bapak? Sesibuk apa dia sampai tidak bisa membeli sendiri kopinya? Tapi kalau Erlo bilang Auriga itu sahabatnya, berarti seharusnya ia masih seumuran. Dan dari yang aku lihat, Erlo jelas belum dapat dikategorikan sebagai seorang bapak-bapak.
Erlo mengucapkan terima kasih kemudian berbalik setelah mengangkat telepon yang masuk ke ponselnya. Apakah mungkin itu Auriga? Aku menggelengkan kepalaku kencang dan kembali ke belakang kasir untuk menerima pesanan lainnya.
Dari satu bulan yang lalu, setiap hari Rabu, yang berarti sudah 4 Rabu aku lewati, Auriga belum juga menampakkan diri. Erlo mengambil pesanannya sebanyak 3 kali. Dan satu kali pesanan tersebut diambil oleh gadis berponi dengan nama Jeyra.
"Pelan-pelan aja sih, Ka, kalau buang napas. Berisik."
Aku menoleh mendengar suara tak asing milik Keana, sahabatku sekaligus perintis Café kecil ini bersama dengan kakaknya. Waktu itu aku hanya berniat membantunya di sini sebentar, namun satu setengah bulan berlalu sejak pertama kali tempat ini dibuka, ternyata mencium bau kopi, membuat kopi dan menikmati cengkrama sore orang-orang yang mampir menjadi kegiatan yang menyenangkan.
"Hari ini si Erlo lagi masa..." Aku merajuk. Keana melirik ke arahku lalu memutar bola matanya malas. Pasti setelah ini ia akan menghujaniku dengan ceramah yang tidak ada habisnya.
"Masih aja lo ya." Keana menggelengkan kepala tidak habis pikir.
"Key, tapi nih ya, bayangin. Di sekitar sini, kampus yang ada cuma kampus kita doang. Terus di sini bukan daerah nongkrong kalau bukan orang daerah sini. Terus dia mesennya tiap hari Rabu, jam lima, yang berarti dia di sekitar sini setiap hari Rabu. Tapi kenapa dia nggak pernah muncul ya? Mungkin nggak sih dia sekampus sama kita?" Aku bergumam sendiri, malah jadi lupa sedang bicara dengan Keana yang menatapku seakan aku sudah gila. Ia hanya berdecak kemudian meninggalkanku lagi untuk masuk ke belakang.
Otakku sudah terlanjur memikirkan lagi semua kemungkinan yang ada. Tidak ada alasan spesial sebenarnya kenapa aku penasaran sekali dengan Auriga, tapi namanya indah. Namanya meninggalkan kesan seseorang yang unik dan menyenangkan. Pertama kali dengar namanya satu bulan yang lalu, aku langsung mencari arti nama tersebut dan aku tidak terkejut mendapati keunikan dari arti namanya. Semenjak itulah rasa penasaranku bertambah tiap minggunya.
Auriga... bagaimana ya orangnya?
//
Aku memiringkan kepalaku melihat 2 orang yang mengangkat lukisan besar dari depan gedung fakultas seni tari dengan tertatih. Sepertinya terlalu berat jika harus diangkat 2 orang saja. Aku membawa langkahku mendekat kemudian tersenyum manis kepada 2 bapak paruh baya yang tak jarang aku lihat berkeliaran di area gedung tari.
"Udah ganti lagi pak?" tanyaku menatap tempat yang sekarang kosong. Kedua bapak itu mengangguk. Biasanya setiap sekitar 1 atau 2 bulan, karya seni yang dipajang di sini selalu diganti. Dari 2 bulan yang lalu, di sini terpajang lukisan besar berjudul 'Merah.' Semua karya yang dipajang di sini adalah milik anak-anak seni rupa. Gedung tari paling dekat dengan jalan masuk utama, sehingga menjadi lokasi paling strategis.
Kalau dari informasi bapak-bapak ini, hanya mereka yang karyanya dinilai luar biasa yang 1 atau 2 bulan sekali bisa mendapat tempat di sini. Aku sih setuju saja, karena memang semua yang pernah dipajang di sini, dengan mudah menjadi sorotan utama setiap orang yang melewati gedung ini. Jujur saja, menebak-nebak karya apa yang akan dipajang berikutnya bulan-bulan terakhir ini jadi salah satu hobiku.
Tak lama sepeninggal dua bapak tadi, mereka kembali dengan patung yang ukurannya hampir setengah badanku. Rahangku hampir jatuh tak percaya. Kalau yang ini sih cocoknya tidak hanya untuk dipajang satu dua bulan, tapi mungkin dalam hitungan tahun. Aku tidak mengerti banyak tentang yang namanya seni rupa, atau pahatan atau apalah itu, namun siapapun yang membuat ini, jelas mendedikasikan segalanya untuk patung ini.
Aku memerhatikan dengan jeli nama yang ada di papan penjelasan mengenai patung tersebut.
A. Aradean.
Aku memanggutkan kepalaku. Aradean jelas tahu apa yang dilakukannya hingga bahkan aku tidak perlu berdiri terlalu dekat untuk melihat semua detail ukiran pada patung ini. Ia memberi nama patung ini "Worthless Beaut." Di bawahnya lagi hanya ada satu kalimat tanpa penjelasan.
"Galatea memang cantik— tapi awalnya ia tetap dibuat tanpa nyawa. Ia hanya beruntung."
Aku mengambil ponselku lalu dengan cepat mengetik nama Galatea di kolom pencarian dan mendapatkan banyak tajuk-tajuk yang langsung membuatku tahu patung ini terinspirasi dari sebuah patung yang berasal dari mitologi Yunani.
Dikisahkan tentang seorang seniman yang jatuh hati pada karyanya, ia meminta pada Dewi Cinta dan Keindahan untuk membawa hidup pada pahatannya. Aku merengut. Ini cerita yang indah. Cerita ini punya akhir yang indah. Kenapa rasanya Aradean tidak menganggapnya begitu ya? Judul dan kalimat yang menyertai pahatannya membuatnya seakan terlihat menganggap kecantikan Galatea sebagai sesuatu yang tidak beguna dan sia-sia.
Aku mengangkat kedua bahuku lalu melihat patung itu terakhir kali sebelum melangkah pergi untuk mengejar kelasku yang akan mulai dalam 10 menit.
Aku menghentakkan kakiku terburu-buru, menyesali keputusanku berlama-lama di gedung tari padahal gedung perfilman ada di area ujung kampus dan hari ini kelasku ada di lantai paling atas. Belum lagi di gedung perfilman lama tidak ada lift. Rasanya ingin menyalahkan Aradean, pahatan indahnya dan pola pikir uniknya. Keana pasti sudah mencak-mencak di kelas karena aku tak kunjung datang, padahal ia mengambil mata kuliah ini agar setidaknya punya satu kelas bersamaku semester ini.
Melewati mahasiswa-mahasiswa lain yang serius bercengkrama di depan pintu kelas, aku melangkah masuk dan mengambil tempat di sebelah Keana yang sudah duduk beberapa baris dari depan sambil menatapku garang. Mungkin ia pikir aku akan bolos lagi hari ini.
"Gue ngambil kelas ini buat barengan sama lo tapi lo munculnya lebih jarang daripada kelelawar muncul siang-siang," ujar Keana membuatku mengatupkan mulut. Tidak, bukan karena merasa bersalah, tapi karena aku ingin tertawa melihat wajahnya yang seperti ingin menarik kepangan rambutku di sini sekarang juga. Aku mengatupkan tangan di depan wajah sambil duduk.
"Sumpah, maaf deh. Tadi lupa waktu," jawabku apa adanya.
"Abis ngapain lo?" tanyanya. Aku memutar badanku menatapnya.
"Hari ini lukisan depan gedung tari diganti. Terus tadi gue ngeliatin gantinya. Patung hampir setengah badan gue, Key, gedenya. Bayangin coba. Terus judul sama yang penjelasannya unik banget jadinya gue malah lama berdiri di situ," jelasku. Ceritaku berhasil menarik penasaran Keana sepertinya. Ia mengerutkan dahinya.
"Demi apa udah ganti lagi? Lihat yang bikin siapa nggak?" tanya Keana lagi. Aku mengangguk. Aradean juga bukan nama yang sering dijumpai. Pasti untuk beberapa hari ke depan namanya akan tersangkut di kepalaku.
"Aradean. A. Aradean," jawabku mengingat nama yang dicantumkan kecil tadi. Keana seperti berpikir lalu menggeleng.
"Nggak pernah denger sih," jawabnya singkat. Aku memutar bola mataku malas lalu mengalihkan pandangan kepada dosen yang baru saja memasuki kelas Komunikasi Visual siang ini. Keana mah tidak perlu ditanya lagi. Aku tanya nama ibu penjual soto di kantin umum saja dia tidak mungkin tahu, padahal tidak ada satu orang pun di kampus ini yang tidak tahu ibu soto legendaris itu. Mana mungkin ia kenal Aradean?
Aku mendengus. Tidak Auriga Arsa, tidak Aradean, lagi-lagi hanya sekadar nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Auriga Arsa (Completed)
Teen Fiction[SUDAH BISA PRE-ORDER] Namanya Auriga Arsa. Aku tidak tahu apapun tentangnya selain bahwa ia suka kopi hitam. Aku bahkan tidak tahu wajahnya seperti apa. Pesanan kopi atas namanya selalu datang ke kafe tempatku bekerja, hari Rabu pukul 5 sore. Namu...