2. Aradean

43K 6.1K 241
                                    


Menurutku, tidak ada yang baik tentang hari Rabu kecuali pesanan atas nama Auriga Arsa yang datang setiap pukul 5 sore. Seharusnya begitu, tapi sekarang sudah pukul 6 dan belum ada yang datang mengambil pesanan tersebut. Aku memautkan bibirku kesal. Mungkin ia sudah bosan minum kopi hitam dari tempat ini. Lagian salah sendiri. Tempat ini menawarkan banyak minuman lainnya, kenapa juga Auriga tidak datang sendiri melihat menu yang ada?

Aku membetulkan kepangan rambutku yang mulai longgar sebelum kembali memasang senyum di belakang mesin kasir. Aku memperlihatkan deretan gigiku dan menyapa ramah pria yang baru saja masuk.

Kalau aku boleh tebak, pasti pria ini populer. Menghabiskan waktu di sini membuatku sedikit banyak belajar mengamati orang lain dari ekspresi dan gerak-geriknya. Namun tentu saja, alasanku berpikir begitu tentang pria di hadapanku yang sedang mengusap hidungnya yang memerah adalah karena wajahnya jelas di atas rata-rata.

"Selamat datang, kak. Mau pesan apa?" tanyaku halus, berusaha tidak terdistraksi senyum tipisnya. Ini orang seperti ingin tersenyum tapi tidak niat.

"Americano. Panas ya," pintanya ramah. Aku mengangguk menuliskan pesanannya sebelum mengambil gelas sesuai dengan ukuran yang diinginkan pria itu.

"Atas nama siapa?"

"Auriga," jawabnya. Aku mematung. Tanganku berhenti menulis dan mataku kemudian beralih menatap dalam pria itu. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya.

"Lo... temennya Auriga Arsa juga?" tanyaku ragu. Ia mengerutkan dahinya.

"Lo kenal Auriga?" tanyanya balik, tidak menjawab pertanyaanku. Aku memiringkan kepalaku dan menyipitkan mata, memikirkan cara terbaik menjawab pertanyaan tersebut. Kenal sih tidak, hanya tahu nama saja. Aku menggeleng akhirnya.

"Enggak. Tapi gue kenal Erlo sama Jeyra karena jelas Auriga nggak pernah pesen kopinya sendiri." Nadaku berubah kesal di akhir kalimat.

Kerutan dahi pria itu masih belum pergi juga.

"Gue jaga di sini setiap Rabu sore, makanya gue selalu ketemu sama pesanannya Auriga," jelasku, tidak tahu dibutuhkan atau tidak. "Lo disuruh dia beliin kopi juga?"

Pria itu malah menggaruk kepalanya bingung. "Iya, semacam itu."

"Kenalin, Nika." Aku menjulurkan tanganku. Masih terlihat ragu, pria yang tidak kuketahui namanya itu menyambut uluran tanganku.

"Dean." Ia tersenyum. 

"Jadi, regular hot Americano atas nama Auriga Arsa?"

Pria itu mengangguk lalu menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribu dan pergi begitu saja setelah menerima kembalian dariku. Sambil membiarkan teman kerjaku membuat pesanan tersebut, mataku tak lepas dari Dean yang sekarang duduk di kursi dekat pintu masuk dan sibuk dengan apa yang terlihat seperti buku gambar. Sesekali ia melepas kacamata hampir bulat berbingkai tipis miliknya, memijat hidungnya dan beberapa kali mengusapnya. Sepertinya ia tidak tahan dingin.

Aku melihat lagi hujan yang turun dengan begitu derasnya dari langit yang sudah mulai gelap.

Merah hidungnya Dean kontras dengan kebanyakan orang lainnya yang sepertinya masih tetap kepanasan meskipun pendingin ruangan di tempat kecil itu juga dinginnya tak kira-kira. Bagaimanapun, ini Jakarta. Mau sedingin apapun, tak akan bisa benar-benar dingin. Tentunya pengecualian untuk Dean yang baru saja bersin.

Teman-teman Auriga ini sepertinya memang dedikasinya tinggi, sampai rela menembus hujan hanya untuk mendapatkan satu gelas kopi hitam untuknya. Aku menggeleng, mengusir semua hal tentang manusia-manusia yang tidak kukenal itu dari kepalaku. Bisa-bisanya aku menghabiskan tenagaku hanya untuk berandai tentang Auriga dan teman-temannya. Lama-lama bisa terobsesi beneran kalau begini.

Auriga Arsa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang