Renjana

824 39 7
                                    

Sepoi angin menyibakkan rambutku yang masih agak basah. Entah, ada angin apa, aku keramas pagi-pagi buta. Biasanya, pukul 5.30 pagi, kakiku baru melangkah memasuki kamar mandi. Namun, hari ini telah kukayuh sepeda pada jam tersebut.

Kemudi kubelokkan ke kiri melewati pedestrian jalan yang masih sepi. Berbeda halnya dengan jalan raya yang mulai dipadati motor, mobil, maupun becak. Hari ini aku sengaja berangkat lebih awal untuk mencoba rute baru. Rute yang jarang aku lewati, kecuali jika ada keperluan di sini.

Sebenarnya, suatu kebodohan ketika memilih rute yang lebih panjang dari biasanya kutempuh. Namun, pikirku tidak masalah, hitung-hitung sekaligus olahraga. Berangkat lebih pagi pun sebetulnya menyenangkan karena udara masih terasa segar.

Entahlah, apakah ini pengaruh kapasitas oksigen di jalan yang masih banyak atau otakku yang sudah tidak waras? Bagai player musik, mulutku tidak henti-hentinya mendendangkan lagu Peterpan sejak keluar dari rumah. Begitu riang dan ringan rasanya saat mengayuh sepeda. Sampai-sampai tidak kuhiraukan jarak yang telah kutempuh. Mungkin benar, kalau otakku sedang bermasalah.

Tempat yang kucari akhirnya terlihat. Bangunan itu menjulang di seberang. Senyum kian lebar dan makin bersemangat untuk mengayuh pedal agar segera tiba. Rem mulai kutarik dan melambatkan kayuh saat akan berhenti di depannya. Sebelah kaki kujejakkan ke atas tanah sembari mengamati bangunan tempatnya mencari ilmu. Bertahun-tahun tinggal di Semarang, tidak pernah seantusias ini melihat gedung sekolah itu. Biasanya, sekadar lewat tanpa minat. Namun, kini, rela kusambangi dari pagi buta hanya untuk mengetahui suasana tempatnya belajar.

"Ada apa ya, Mbak?"

Spontan aku menoleh ke belakang. Seorang satpam memasang wajah curiga.

"Oh ... saya cuma istirahat bentar, Pak. Mari." Pedal kembali kupijak. Dengan penuh tenaga, kukayuh sepeda untuk meninggalkan tempat itu.

***

"Ehem! Yang kemarin dianter!"

Bola mataku bergerak melirik Tania yang akan menduduki meja. Karena masih dongkol, aku memilih untuk memasukkan pensil dan bolpoin ke kotak alat tulis terlebih dahulu, lalu menempatkannya di atas buku.

"Gara-gara temen kampret yang ngempesin banku," ucapku seraya menyilangkan dada.

Bukannya memasang wajah menyesal, dia justru terkekeh mendengar kekesalanku.

"Alah, kesempatan dibonceng kapan lagi sih, Mel?" ledek Putri setelah mendorong pundakku, lalu menempati kursi di sampingku. "Gimana-gimana? Pelukan, nggak?"

Dahiku seketika berlipat-lipat. "Ih, ngapain?"

"Kenapa, nggak? Mumpung dia belum tenar, nih. Kalau udah jadi artis, nyesel loh," imbuh Putri yang langsung membuatku memutar bola mata.

"Bodo amat."

"Langsung dianter pulang ke rumah, 'kan?" tanya Tania.

Aku mengangguk sekilas. "Sebelumnya ke apotek bentar."

"Beli obat?"

Pertanyaan Putri membuatku tidak habis pikir. "Pentol. Ya, iyalah obat, Sayang."

"Maksudku beliin kamu obat?"

"Ho'oh."

"Terus-terus?" Tania mulai memperlihatkan keantusiasannya.

"Ya ..." Kukedikkan bahu. "Ngobatin aku, terus kita pulang."

"Ada nggak stok kayak dia satu aja?"

Aku lantas menatap wajah memelas Putri. Tawa tidak bisa kubendung melihat kekonyolannya. "Ambil aja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang