Idola

2.7K 302 2
                                    

"Pusing! Pusing! Pusing!"

Aku melirik Putri yang sedang mengomel sendiri. Kutangkup bibir ketika dorongan dari dalam mulut mendesak secara paksa. Setitik air di sudut mata kuusap. Pensil 2B, penghapus karet standar komputer, bolpoin, dan Tipp-X kumasukkan ke kotak pensil.

"Pasrahlah kalau dapat jelek lagi. Capek belajar aku." Putri kembali menggerutu.

Aku lantas bangkit menuju depan kelas. Ransel yang tergeletak di bawah papan tulis kuraih. Kulangkahkan kaki menuju tempat semula—tempatku mengerjakan soal matematika beberapa menit lalu.

"Slow aja, Put. Cuma try out, kok," kataku merespons perempuan yang duduk menyerong menghadapku. "Yang penting, April nanti, 'kan? Jangan dibawa stres, deh."

"Kamu enak ngomong gitu, nggak pernah dapat nilai di bawah garis merah, sih," balasnya sambil mengulurkan kotak pensilku.

"Kata siapa?" Aku menatapnya tidak terima. "Tahu sendiri waktu try out kedua bahasa Indonesia dapat berapa," jelasku sembari memasukkan barang-barang ke tas.

"Cuma sekali," elaknya tidak terima.

"Woy, bakso, yuk!"

Secara serempak kami menoleh ke pintu. Tania melangkah masuk, lalu duduk di atas meja kosong. Tungkai kaki ia silangkan, kemudian mengayunkannya sambil mengulum es krim.

"Happy banget. Bisa?" Putri cukup sarkasme melihat sikap santai Tania.

"Elah ... pasti habis bandingin jawaban ke Amel. Ya, 'kan? Kebiasaan, nih, bikin sumpek. Biarin, deh, kalau dapat jelek!"

"Coba deh kalian di posisiku yang ditekan terus."

Napas kuhela panjang. Selanjutnya, kusandarkan bahu. "Put, makin kamu pikirin, bakal bikin tambah stres, dan ujung-ujungnya nggak maksimal pas ujian yang sebenarnya. Try out bukan patokan nilai kita di UN nanti. Ini hanya latihan biar kita terbiasa menghadapi tipe-tipe soal yang akan diujikan. Jadi, jangan putus asa kalau dapat jelek. Jadiin itu semangat kamu untuk memperbaiki diri, kita juga gitu, kok. Ya, nggak, Tan?" Aku mengedikkan dagu pada Tania.

"Ho'oh. Makin kamu stres, rambutmu tambah rontok, lho. Mending kita makan bakso."

"'Tul!" timpalku.

Dahi Putri berlipat-lipat setelah mendengar wejangan dari kedua temannya.

"Ck, kelamaan!" Tania turun dari atas bangku, kemudian meraih lengan Putri sampai berdiri. "Hidup cuma sekali, ngapain dibikin pusing. Sekarang, ya sekarang. Besok, ya besok."

"Mantap!" Kuacungkan jempol atas kalimat bijak Tania.

"Bakso yang lain, ya. Bosen di tempat kemarin," celetuk Putri yang langsung membuat kami semringah.

Tali ransel kusampirkan pada kedua bahu. "Gitu, dong, terobosan baru. Tahu tempatnya?"

Putri menganggukkan kepala. "Dekat, kok. Kemarin sama masku ke sana. Enak."

"Berangkat!" sahut Tania sembari membuang bungkus es ke tempat sampah.

"Aku nebeng, ya, Mel. Nggak bawa sepeda, nih."

Kuangkat jempol sebelum mendorong pundak Putri.

***

Kemudi berbelok ke kanan melewati sebuah tikungan landai. Sesekali kujentikkan bel besi saat ada orang yang akan menyebrang. Selanjutnya, kukayuh pedal sedikit kencang.

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang