Petrichor

3.7K 345 19
                                    

Halte bus berjarak beberapa meter di depan mata. Refleks kutundukkan kepala untuk menghindari tetesan air hujan yang makin ganas. Banyak orang berbondong-bondong menuju tempat itu. Dan, aku akan melakukan hal yang sama.

Bergegas kutinggalkan sepeda setelah memarkirnya secara asal. Hujan makin deras mengguyur bumi. Kaki sedikit kuangkat saat cipratannya berhamburan ke sepatu. Aku lantas bergeser ke kiri, mencari posisi yang lebih aman.

Gemuruh tiba-tiba saja menggelegar. Jerit keterkejutan dari sekelompok perempuan di sampingku pun terdengar. Sesaat kemudian, sepedaku ambruk seiring derasnya hujan. Mungkin stan yang kutegakkan kurang sempurna. Biarlah, biar dia mandi sekalian.

"Hey!"

Kepalaku menjengit kaget. Sebuah panggilan tepat di telinga kananku. Lantas, kutolehkan wajah. Seorang laki-laki tengah menatapku dengan senyum lebar.

"Kamu?" Sungguh, aku tidak percaya melihatnya di sini. Benakku bertanya-tanya, kenapa tadi nggak kelihatan?

"Iya, aku."

Tawa garing menghiasi bibirku. "Aku tadi, kok, nggak lihat kamu?"

"Dari tadi aku di sini."

"Masa?"

Dia menganggukkan kepala, lalu menatap langit. "Kayaknya bakal lama."

Kuikuti pandangannya pergi. Melihat langit siang yang tidak begitu gelap, tetapi juga tidak cerah. "Sepertinya."

Tetanggamu calon artis, Mel.

Kalimat Tania kembali terngiang. Mengingatkanku tentang sosok di belakangku. Sejak Tania menunjukkan sebuah fakta tentangnya, perlahan-lahan menumbuhkan ketertarikanku untuk mencari tahu laki-laki itu lebih jauh.

Uang jajan kukorbankan untuk melihat akun Friendster dan Tumblr miliknya di Warnet dekat sekolah. Tidak ada yang menarik pada dua laman tersebut. Hanya unggahan gambar gitar, beberapa fotonya, foto para gitaris dunia, dan gambar motor Ninja.

Sayangnya, aku terlalu cepat menyepelekan dia. Hampir semua unggahannya di Tumblr mendapatkan ratusan like dan puluhan komentar. Followers-nya pun nyaris mencapai angka seribu.

Jujur, aku kehabisan kata-kata melihat semua itu. Menurutku, semua unggahannya biasa saja. Lebih-lebih, posenya yang berdiri tegap di tengah padang savana berlatar pegunungan, yang mendapatkan 700 like dan 100 komen. Benar-benar artis.

"Nggak ikut nampung air hujan?"

Aku menoleh ke belakang. "Maksudnya?"

"Itu." Dagunya mengarah ke salah seorang perempuan yang berdiri tidak jauh dari kami. Tangannya menengadah, menampung tetesan air hujan seperti di kebanyakan film.

Aku lalu melihat Matteo. "Kalau yang jatuh duit, bakal kubuka lebar-lebar tasku."

Tawanya tampak begitu lepas. "Benar-benar."

Belum puas kunikmati raut bahagia itu, mendadak dia menarik lenganku. Denyut jantung seketika bergejolak ketika dia memelukku. Lebih-lebih, saat dada bidangnya menutupi seluruh pandanganku.

"Sial!"

"KURANG AJAR!"

"Haduh! Basah, deh!"

Sumpah serapah samar-samar kudengar. Keterkejutan masih belum sepenuhnya reda. Dengan linglung, aku mengangkat pandangan. Kudapati kedua matanya terpejam erat. Alhasl, liur kureguk susah payah.

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang