Dekat

1.6K 164 10
                                    

"Aku pengin punya motor yang ada atapnya. Jadi, kalau tiba-tiba hujan nggak kebingungan."

Bibir kutekuk seraya melipat kedua kaki bersilangan. "Pakai mobil aja. Ribet banget."

"Papa cuma bolehin pakai motor. Mau ganti pun, jadi turun kasta."

"Kalau gitu, pakai becak aja. Enak, ada plastik penutupnya," saranku menahan tawa. Sementara Matteo hanya memasang wajah masam.

"Nanti mau kuliah di mana?" Aku mencoba membangun topik lain.

Dia mengedikkan bahu, lalu memandangku sekilas. "Kamu?"

"Pengennya di UI, tapi nggak tahu lagi."

Secepat kilat dia menatapku. "Mau ambil apa?"

"Ekonomi Bisnis."

Kepalanya mengangguk pelan. "Berarti, nanti sekos sama Mbak Dita?"

"Beda kali. Mbak Dita di Menteng, sedangkan UI di Depok."

"Oh, ya, ya."

Dua jam sudah Matteo duduk di ruang tamuku. Kegiatan belajar bersama, benar-benar kami lakukan saat akhir pekan. Satu mata pelajaran telah kami selesaikan. Sekarang, aku menunggu dia menyelesaikan soal matematika yang kuberikan.

"Udah ada pandangan pengin ambil kuliah apa?" Kubuka toples berisi wafer, lalu menawarkan pada Matteo. Setelah dia mengambil sebatang wafer, aku turut menikmati jajanan tersebut.

Sekali lagi, dia mengedikkan bahu. "Kamu tahu sendiri otakku kayak gimana? Nggak ngarep, deh, diterima di kampus negeri."

"Orang tuamu nyaranin ke mana gitu?"

Perlahan-lahan kunyahannya melambat, kemudian melihatku sesaat. "Bisa nggak, bicara yang lain?"

Dapat kulihat dia tidak nyaman. Dia lalu melanjutkan pekerjaannya setelah melahap sebatang wafer. Aku tahu, ada yang salah dalam obrolan ini. Entah topik perbincangan yang kuangkat membosankan atau memang dia sedang ada masalah.

"Maaf."

Kedua matanya menatapku sejenak. Senyumnya tampak dipaksakan. "It's okay."

Kecanggungan mendadak terasa pekat. Bingung sempat memenuhiku untuk mencairkan suasana. Akhirnya, kuputuskan untuk melihat hasil pekerjaannya supaya kami kembali fokus pada tujuan Matteo ke rumah.

"Wow, udah nomor 10?" Aku cukup kagum melihatnya lumayan cepat mengerjakan.

Dia melirikku, lalu menutup sebagian pekerjaannya. "Jangan lihat dulu! Belum selesai."

"Namanya juga ngecek, nggak masalah, 'kan?" Tubuh kutegakkan. "Kalau merasa sulit atau butuh waktu lama untuk mengerjakannya, kamu bisa tinggal dulu untuk mengerjakan soal selanjutnya. Ini trik biar energi dan emosi kita nggak terkuras sia-sia. Fokus kita dalam mengerjakan soal pun bisa stabil."

Matteo tiba-tiba menguap. "Kalau aku ngantuk gimana?"

"Bisa jadi kamu bosan. Luangkan waktu beberapa detik untuk beristirahat dan melihat sekitar."

Matteo kembali menguap sambil menggaruk kepala.

"Selain bosan, bisa juga waktu istirahatmu kurang. Itu kenapa kita juga harus cukup tidur selain belajar dan main. Semua harus seimbang."

Mendadak dia terkekeh. "Kamu pantasnya jadi guru BK, deh."

"Nggak sekalian guru TK?"

Sekarang, dia terbahak-bahak. "Benar-benar. Biar sekalian kamu ajarin anakku nyanyi."

"Cuannya dobel, ya?"

Berbincang dengannya seperti mendaki gunung. Terkadang, aku dapat berbicara tanpa canggung dan tertawa lepas. Kadang juga, aku mendapati jurang yang membuatku harus berhati-hati dalam menyusun kalimat.

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang