Matteo

3.4K 366 16
                                    

Kukayuh sepeda dengan terburu-buru. Jalan kompleks cukup sepi. Hanya bapak penjual siomay dan mi ayam yang berseliweran menyapaku. Karena aku adalah langganan VIP keduanya, Pak Usman dan Pak Zaki meneriakkan promo dagangan mereka berupa topping sate ampela ati pada siomay, serta tumis jamur kecap pada mi ayam. Hanya acungan jempol dan teriakan "siap" yang kuberikan. Aku sedang sangat tidak fokus.

Sekarang, aku hanya ingin cepat sampai rumah. Hasrat terpendamku sudah di ujung tanduk. Aku benar-benar sudah kewalahan menahannya.

Sekilas, kulihat bangunan berlantai dua di samping rumah. Sebuah keluarga dari Surabaya menempati rumah yang telah lama kosong. Mama mengatakan jika keluarga itu memiliki dua orang anak laki-laki. Anak pertama setahun lebih tua dari Mbak Dita, sedang kuliah di Jakarta. Sementara anak kedua, seumuran denganku, entah sekolah di mana. Sampai detik ini, aku belum bertemu lagi dengan bungsu keluarga itu, yang memandangku aneh dari kamarnya pada Minggu kemarin.

Kutarik pedal rem dan menempatkan sepeda di carport. Bergegas kuambil tas dari keranjang depan dan berlari memasuki rumah. Tanpa menutup pintu, kulempar tas ke sofa ruang keluarga. Aku bergegas membuka pintu kamar mandi, lalu menutupnya kencang. Segera kubuka penutup closet, lalu menempatkan diri di atasnya.

"Oh ...." Kugelengkan kepala merasakan kelegaan hidup yang luar biasa.

"Taruh tas yang bener, Mel! Hampir pecah vasnya kena tasmu." Mama terdengar cukup jengkel.

"Kebelet, Ma!" Tombol flush di balik punggung kutekan. Jet shower kuraih. Segera kubersihkan diri dan meraih tisu yang menggantung di kamar mandi.

"Ditaruh baik-baik, 'kan, bisa?" Mama kembali mengomel setelah aku muncul dari kamar mandi. Aku hanya mengerucutkan bibir tanpa membalas gerutuannya.

Kudekati meja makan dan membuka tudung saji. Spontan mataku berbinar melihat isi meja. Telur pindang, selat solo, dan tumis kentang balado telah tersaji rapi.

"Asyik! Makan, ah!" Kursi langsung kutarik.

"Ganti baju dulu! Kebiasaan," titah mama menghentikan gerakanku. Kulihat ia memasang wajah garang sambil menguleni adonan kue dari dapur.

"Laper, Ma."

"Ganti baju dulu."

Aku hanya mencebik dan berjalan gontai untuk mengambil tas.

Ting ... tong ....

Kupalingkan wajah memandang pintu rumah yang tertutup.

"Bukain pintunya, Mel."

Memenuhi permintaan mama, aku mendatangi pintu sambil menyampirkan tali ransel ke pundak. Ketika pintu kubuka, seorang laki-laki telah berdiri membelakangiku. Dia seperti sedang mengamati halaman rumahku. Sebelah tangannya kemudian terangkat, bergerak menyugar rambut. Aku yakin, dia masih tidak menyadari keberadaanku.

"Cari siapa, ya?"

Dia masih bergeming pada posisi yang sama.

"Cari siapa, ya?" Kali ini, aku setengah berteriak.

Laki-laki itu langsung menoleh. Kedua matanya terbelalak, seakan-akan melihat setan di siang bolong. Dengan gerakan tergesa, dia menurunkan earphone pada kedua telinganya.

Di lain sisi, aku pun terperanjat melihat kehadiran bungsu keluarga sebelah di sini.

"Dari mamaku." Sebelah tangannya menyodorkan sekotak nasi berlabel katering paling enak di lingkungan rumah. "Sebagai tetangga baru," tandasnya.

"Oh, sebelah rumah, ya?" Kuterima pemberiannya dengan senyum samar.

Dia menganggukkan kepala.

"Terima kasih."

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang