Modus

1.6K 174 6
                                    

Cuaca hari Minggu kali ini cukup menyenangkan. Ketika mendongak ke langit, birunya angkasa adalah hal pertama yang kulihat. Kumpulan awan bak gumpalan kapas, turut menghiasi bentangan langit biru yang menyegarkan. Ah, melihatnya, seketika mengingatkan es krim Sundae favoritku, Putri, dan Tania yang akan kami beli setelah ini.

Agenda jalan-jalan ke mal sudah kami rencanakan sejak Jumat lalu. Selain membeli es krim, kami pun akan mengunjungi toko buku. Sebenarnya, Putri yang berkepentingan pergi ke tempat itu. Ayah Putri meminta dia membeli buku latihan soal yang disertai kaset DVD. Mungkin, aku akan membeli novel saja. Bagiku, belajar melalui buku latihan soal sudah lebih dari cukup.

Kutapaki anak tangga menuju lantai satu. Di ruang keluarga, Mbak Dita tampak menggoyang-goyangkan sebelah kaki yang ia silangkan. Acara gosip menghiasi layar kaca televisi. Sementara itu, papa duduk berselang dua kursi dari Mbak Dita, telihat sibuk membaca koran. Kutempatkan diri di kursi meja makan. Sebuah piring kuambil dan mengisinya dengan nasi.

"Udah sarapan semua, nih?"

"Udah." Mama membalas pertanyaanku dengan tetap fokus menjahit celana sobek. Setelah itu, dia melihatku. "Tumben dandan? Mau ke mana?"

"Ke mal sama anak-anak."

"Mau ujian masih nge-mal aja?" Papa angkat suara di balik korannya.

"Refreshing dong, Pa, biar otak nggak tegang." Setelah mengatakan itu, kuletakkan beberapa lauk ke atas piring.

"Heran sama artis sekarang. Kayak nol prestasi gitu. Bikin sensasi aja kerjaannya."

Ocehan Mbak Dita cukup menarik perhatianku. Kulihat dia dari samping sembari menyuap nasi.

"Makanya, kuliah yang benar. Bikin film yang berkualitas. Jangan ngopi melulu." Dengan santai, mama berpesan menanggapi anaknya.

"Kuliah di bidang seni, belajarnya nggak bisa di depan buku terus, Ma. Orang seni butuh banyak inspirasi. Ngumpul sama teman sambil ngopi itu salah satu cara mendapatkan ide kreatif, lho."

Sesekali kupandangi mereka tanpa turut masuk ke obrolan tersebut.

"Alasan," elak mama menatap Mbak Dita sekilas sembari mengigit uluran benang.

"Balik ke Jakarta kapan, Mbak?" Di sela-sela mengunyah, kulontarkan pertanyaan padanya.

"Besok aja. Jadwal kuliah baru Rabu siang."

Mbak Dita kini telah memasuki semester pertengahan di Institut Kesenian Jakarta. Dia memilih pulang ke Semarang saat libur. Entah, dia mengaliri darah seni dari siapa. Papa yang berprofesi di bidang keuangan, sama sekali tidak memiliki ketertarikan di dunia seni. Sementara mama yang hobi memasak dan membuat kue, mengoleksi aneka cendera mata dari pelosok negeri hanya sebagai ajang pamer ke tetangga. Meski begitu, kedua orang tuaku selalu mendukung penuh keputusan anak-anaknya.

Ting tong ....

"Bukain pintunya, Dit."

Mbak Dita bangkit memenuhi permintaan mama. Dia berjalan menuju ruang tamu yang hanya bersekat rak kaca dari tempat kami berkumpul. Kulanjutkan kegiatan makan. Kerupuk udang kulahap setelah menyantap potongan balado telur.

"Cari siapa?"

"Amelia, ada? Saya Matteo, tetangga sebelah."

Sontak kunyahanku berhamburan mengotori meja. Secepat kilat kutolehkan wajah melihat laki-laki tersebut. Dia mengangkat kedua sudut bibir. Menampilkan senyum lebar melewati bahu Mbak Dita.

Kakakku turut menoleh ke belakang Akhirnya, dia mempersilakan Matteo masuk.

Selaras sikap welcome Mbak Dita, mama cukup antusias menyambutnya. Dengan berjalan sedikit cepat, dia menghampiri Matteo di ruang tamu.

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang