Tetangga Baru

5K 392 10
                                    

"DEK, AKU NGANTER MAMA KE PASAR."

Segera kuusap wajah untuk membersihkan busa sampo yang menutupi sebagian mata. Menggosoknya beberapa kali sampai dapat melihat pijakan kaki. Sejenak kuludah cairan pahit yang dengan lancang menerobos celah bibir.

"IYA!" Teriakan Mbak Dita kubalas sama lantangnya. Dalam beberapa detik, aku memilih diam menanti debuman pintu yang biasa dia lakukan. Setelah mendapatkan suara itu, kembali kugerakkan jemari untuk menggosok rambut hingga bersih. Gayung kuraih, lalu mengisinya dengan air dari bak. Tubuh seketika menggigil ketika air yang bersumber dari sumur pompa itu melewati kulit.

Akhir-akhir ini, hujan turun tidak mengenal waktu. Terkadang dari pagi buta sampai akan berangkat sekolah. Juga saat siang, ketika matahari sedang tinggi-tingginya. Jangan ditanya bagaimana ketika malam, hujan masih setia membasahi tanah hingga pagi harinya menyisakan becek dan membuatku malas untuk bangun—tentu hawa dingin penyebabnya.

Akhir-akhir ini, hujan turun tidak mengenal waktu. Terkadang dari pagi buta sampai akan berangkat sekolah. Juga saat siang, ketika matahari sedang tinggi-tingginya. Pun saat malam, air dari langit masih setia membasahi tanah hingga pagi harinya. Alhasil, menyisakan becek dan membuat malas untuk ke sekolah.

Akan tetapi, entah mengapa, hari Minggu ini cukup cerah. Aku pun merasa gerah dengan rambut lepek yang baunya cukup menyengat. Karena itu, kuhabiskan Minggu pagi dengan membersihkan rambut dan tubuh agar terlihat sedikit cantik.

Kubuka pintu kamar mandi, lalu menutupnya dengan sebelah tangan. Sementara tangan yang lain kubiarkan bekerja keras menggosok rambut yang basah. Sembari mengeringkan rambut, kupijak anak tangga menuju lantai satu.

Ruang keluarga sunggu senyap. Jam dinding menunjukkan tepat pukul sembilan. Papa sudah berangkat ke kantor pagi tadi. Oleh karena rencana mutasi ke Jakarta dalam beberapa waktu ke depan, papa kerap pergi ke kantor pada akhir pekan. Dia mengatakan ada beberapa urusan yang harus segera diselesaikan sebelum serah terima tugas.

Beberapa barang di rumah kami pun sudah di-packing. Banyaknya barang antik koleksi mama, membuat kami berkemas jauh-jauh hari. Mama adalah kolektor cendera mata dari berbagai daerah di Indonesia. Benda-benda tersebut ia letakkan di lemari kaca, dan akan membeli lemari kaca lagi jika sudah tidak bisa menampung koleksi barunya. Jadilah rumah kami seperti museum.

Melihat kamar Mbak Dita, mendadak aku teringat Walkman yang dia pinjam. Bergegas kudatangi kamarnya setelah menyomot sepotong tempe goreng dari atas meja. Kutekan saklar lampu usai membuka pintu. Dalam sekejap, pemandangan gudang toko baju terpampang nyata di hadapanku.

Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini, begitu pun barang-barangnya yang berserakan di atas lantai dan meja belajar. Walaupun usianya lebih tua dariku tiga tahun, dia bukan panutan anak perempuan yang bagus. Saat masih SMA, berangkat sekolah sering kesiangan, menghabiskan berbotol-botol minyak wangi dalam sebulan untuk menutupi bau badan karena jarang mandi, dan sangat doyan nongkrong di angkringan bersama teman-teman gengnya sambil makan tempe mendoan disertai segelas kopi susu panas.

Pernah sekali waktu aku ikut mereka hangout di Simpang Lima. Mengamati bagaimana arah percakapan orang dewasa yang 60 persen kontennya adalah gosip dan 40 persennya tentang pria. Aku yang masih bau kencur, serasa menjadi alien ketika memasang wajah datar melihat mereka tertawa lepas. Jadi, kusibukkan diri makan gorengan dan menghabiskan kopi susu dalam 10 menit. Anehnya, mereka justru menertawaiku. Menurutku, merekalah yang aneh. Membiarkan minuman sampai dingin dan dijajah puluhan semut karena terlalu lama membicarakan orang.

Kupijak kembali anak tangga menuju lantai dua. Pintu kamar bergegas kututup, lalu melempar diri ke atas ranjang. Earphone kupasang pada kedua telinga dan memasukkan sebuah kaset pada Walkman. Sambil menekan tombol next untuk mencari lagu yang ingin kudengar, kuamati dinding kamar yang penuh poster Peterpan, Sheila On 7, Gigi, dan Dewa 19.

Intro Larut milik Dewa 19 mengudara di telingaku. Buku akuntansi kuraih dari atas nakas. Sementara itu, sebelah kaki kusilangkan ke atas kaki yang lain. Sesekali menggoyang-goyangkannya mengikuti alunan lagu.

"Laporan perubahan ekuitas atau statment of owner equity ...." Sesaat, kubuka kisi-kisi materi yang akan diujikan pada ujian mendatang.

Mungkin aku pernah juga merasakan cinta

Tapi tak pernah seindah ini

Brum ... brum ....

Deru mobil yang kencang, cukup menarik perhatianku. Aku menoleh sejenak menghadap pintu balkon.

Tit ... tit ... tit ....

Sekarang, suara lampu sen terdengar. Cepat-cepat kuabaikan kebisingan itu dan fokus pada buku yang sedang kubaca. Waktu untuk belajar, hanya tinggal beberapa bulan lagi. Aku tidak mau dicap bodoh karena tidak lulus Ujian Nasional.

Saat ini, aku berada di tingkat paling akhir pada sebuah SMA negeri di Kota Semarang. Konsentrasi ilmu sosial kupilih karena tidak suka pelajaran yang banyak praktik. Simpelnya, sih, aku tidak pintar di IPA, tetapi lebih encer di IPS.

Ku akui aku telah larut

Larut ke dalam

Kamu yang ku cintai

"Bertambahnya modal suatu perusahaan dapat disebabkan oleh laba bersih yang diperoleh perusahaan dan," aku menoleh ke samping—tepatnya ke arah balkon—untuk menghafal kalimat yang baru saja kubaca, "penambahan investasi oleh ...."

Kelopak mataku mengatup perlahan. Siluet seorang laki-laki, mengisi kamar rumah sebelah. Adanya pintu kaca, membuat dia tidak begitu jelas kulihat. Tiba-tiba, gerakannya terhenti, lalu berbalik menghadapku. Kepalanya menunduk seraya bertolak pinggang. Sementara itu, tangannya yang lain sibuk mengotak-atik sebuah ponsel. Kuamati lebih jauh perawakan laki-laki itu, yang kuperkirakan seumuran denganku.

Ku akui aku telah larut

Larut ke dalam

Kamu yang ku cintai

Rambutnya sebatas leher, menyerupai rambut Marhel Chandrawinata. Dia cukup tinggi, nyaris menyamai pintu balkon kamarnya. Wajahnya tidak begitu jelas kulihat, tapi sekilas cukup tampan.

Penghuni baru?

Pandangannya terangkat. Spontan hal ini membuatku terperanjat. Kedua matanya lurus menatapku. Sialnya, pintu balkon sedang kubuka lebar. Menampilkan pose santaiku sambil mengamatinya dari atas tempat tidur.

****

Unforgotten DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang