09

117 10 1
                                    

"Dek," panggil Dicky.

"Hm?" sahut Drupadi tanpa mengalihkan pandangannya.

"Lo suka Satria?"

Bukannya menjawab pertanyaan Dicky, Drupadi malah menahan tawanya.

"Yeuh ditanya malah ketawa," celetuk Dicky.

Oh iya sekedar informasi saja bahwa Sadewa dan Satria tidak dapat mendengar percakapan antara Drupadi dan Dicky. Mereka berdua sengaja berbicara dengan nada pelan supaya tidak mengganggu Sadewa dan supaya tidak terdengar oleh Satria. Lagi pula mereka berdirinya di depan kamar jadi jaraknya cukup jauh dengan ranjang.

"Lo kan tau kak kalo gue punya pacar, pacar gue bakal diapain sama 5 bujang itu," ujar Drupadi.

"Oiye bener. Lagian lo berenam ngapain sih pake bikin perjanjian begituan?" tanya Dicky.

Drupadi menghela napas pelan dan berkata, "Bukan kita, tapi bunda yang bikin kita berjanji."

"Mungkin maksud bunda biar mereka berlima fokus jagain gue, padahal gue kan juga bisa jaga diri," ujar Drupadi lagi.

"Ya elah gausah sedih gitu kali, lo mana paham maksud bunda lo, coba lo tanya 5 kakak lo atau lo tanya Angga, Bagas, Aji pasti mereka bakal setuju sama bunda lo. Gue aja setuju," balas Dicky.

Drupadi kembali menghela napas pelan dan hanya mengangguk menanggapi perkataan Dicky.

"Nasib jadi cewe cantik, susah. Lo gamau pacarin gue kak?" tanya Drupadi sembari menanggup pipinya sendiri.

"Maulah!! Kalo gue ga takut sama kakak-kakak sangar lo itu udah gue ajak kawin lo," balas Dicky.

"Siapa yang lo sebut sangar? Lo mau macarin adek gue?" tanya seseorang. Dicky sempat terlonjak mendengar suara berat yang berasal dari belakang punggungnya. Tanpa menoleh pun, ia tahu pemilik dari suara itu.

"Kagak elah, masih sayang nyawa gua," sahut Dicky. Ia bergidik ngeri membayangkan dirinya diintrogasi oleh kelima orang itu karena memacari adik perempuan kesayangan mereka. Terutama oleh pemilik suara tersebut, yaitu Bima.

Drupadi tertawa terbahak-bahak. Bima menjepit leher Dicky dengan lengannya yang besar dan mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

"Woy ah anjir rambut gue!" protes Dicky. Ia menatap sinis Bima saat lehernya terlepas dari jepitan lengan Bima.

"Kak Bima, Nakula mana?" tanya Sadewa dari dalam kamar.

Belum sempat menjawab, orang yang dicari langsung masuk kedalam ruangan. Nakula memberikan obat yang ia beli.

Setelah selesai mengobati Satria dengan metode ala rumahan, Sadewa menyuruh Satria untuk beristirahat sejenak sebelum diantar kerumahnya saat sudah lebih baik. Sadewa, Nakula, Drupadi, Bima, dan Dicky bersama-sama menuju ruang tamu. Disana sudah terdapat Arjuna dan Yudhistira yang sedang bersantai.

"Gimana keadaannya?" tanya Yudhistira.

"Udah aku kompres sih kak sama aku kasih obat, berharap aja bisa ngurangin rasa sakitnya," ujar Sadewa sembari duduk disebelah Yudhistira.

"Ges gue pulang ya, kalo ada apa-apa telpon aja oghe," ujar Dicky kemudian menyambar kunci mobilnya yang ia letakkan di bufet.

"Oke thanks Dik," ujar Arjuna.

"Makasih kakk," ujar Drupadi.

Kemudian Dicky pergi meninggalkan rumah tersebut. Keenam saudara tersebut melanjutkan aktifitas mereka sendiri tetapi dengan suara yang diminimalisir supaya tidak mengganggu Satria.

Yudhistira membaca buku di ruang tamu, Bima berkutat dengan peralatan dan bahan makanan, dan yang lainnya memilih untuk masuk kedalam kamar masing-masing. Salah satunya Arjuna.

Dengan perlahan, Arjuna membuka pintunya dan menutupnya kembali. Ia mengambil pakaian rumahannya lalu mengganti pakaiannya di kamar mandi yang ada di dalam kamar. Ia juga membersihkan anggota tubuhnya.

Saat Arjuna selesai dengan acara mandinya dan keluar dari kamar mandi, secara bersamaan, Satria terbangun dari tidurnya.

"Eh? Gue ganggu ya? Sori sori gerah banget Sat," ujar Arjuna.

"Iye Jun santai aja, malah gue yang minta maaf udah ngerepotin kalian," balas Satria sembari mendudukkan dirinya.

"Elah santai aja kali. Btw gimana perut lo? Masih sakit?" tanya Arjuna sembari duduk di kursi belajarnya.

Satria meraba perutnya yang menjadi sasaran tendangan Raska tadi dan menjawab, "Dah mendingan sih."

"Syukurlah."

Tidak ada pembicaraan lagi yang terjadi diantara mereka. Arjuna membuka bukunya dan mengerjakan tugas-tugasnya. Sedangkan Satria, memeriksa ponselnya. Ternyata terdapat beberapa panggilan masuk dari ibunya dan beberapa pesan masuk juga. Inti dari pesan yang masuk adalah menanyakan keberadaannya.

"KAK JUN, KAK SAT, MAKAN MALEM DULU!!!"

"Tuh anak main teriak-teriak aja," gerutu Arjuna. Satria hanya tertawa kecil.

"Kuy Sat, gue bantu," ujar Arjuna sembari mendekati Satria dan membantu memapah Satria menuju ruang makan.

Drupadi menepuk dahinya dan bergumam, "Gue lupa kan kak Sat tadi tidur."

"Makanya jangan suka teriak-teriak," celetuk Nakula.

"Ye maaf lupa," balas Drupadi.

Akhirnya mereka duduk di meja makan dan menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh Bima dan dibantu oleh Drupadi. Bantu doa maksudnya. Canda.

Sebuah ponsel tiba-tiba berbunyi saat mereka asik memakan makanan mereka. Ponsel tersebut adalah milik Satria. Disana tertera nama 'Ibu'. Satria menatap semua orang yang ada di meja tersebut meminta izin untuk mengangkat telponnya. Baru kemudian ia menganggatnya. Ia tidak bisa meninggalkan meja makan untuk sekedar menjawab telpon karena perutnya yang sakit membuatnya susah berdiri apalagi berjalan.

"Iya bu?"

Meski pelan, Drupadi yang berada disebelah Satria mendengar Ibunya Satria menanyakan keberadaan putranya.

"Ini lagi di rumah teman bu."

Drupadi menyenggol-senggol lengan Satria dan berkata, "Kak kak aku mau ngomong dong." dengan nada pelan.

"Bu ini temanku mau bicara."

Satria memberikan ponselnya pada Drupadi. Dengan antusias, Drupadi menerima dan menempelkan ponsel tersebut di telinganya.

"Halo tante ini Drupadi, calon menantu tante."

"DEK !!!"

Bersambung..

Who We Are?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang