3. Asing, tapi Menikah

251 23 0
                                    

Pernikahan sejatinya harus dilakukan atas dasar dua orang saling mencintai. Kalaupun belum, setidaknya keduanya telah saling mengenal dengan baik. Siap menerima kekurangan masing-masing dan melengkapinya. Namun hal berbeda justru terjadi pada Mona dan Galih. Mereka menikah tanpa perasaan cinta atau telah saling mengenal.

Mona telah menunggu di dalam kamar. Ia telah memakai gaun pengantin yang begitu indah, berwarna putih seolah dirinya akan kembali suci sebagai pengantin baru. Meski bukan pertama kali memakainya, tetapi tetap saja Mona merasa gugup.

Saat ini rumah Mona hanya dipadati oleh kaum perempuan, karena sebagian besar para pria telah menuju masjid untuk melangsungkan akad nikah yang akan dijalani oleh Galih di sana. Barulah setelah akad nikah dilakukan, maka Galih akan menuju rumah Mona untuk menjemput istrinya itu.

Masita memandang wajah putrinya yang telah dihias dengan baik. "Sayang, sebentar lagi kamu akan menjadi milik Galih."

Mona tersenyum tipis. "Aku masih tetap milik Ibu juga."

Masita tidak dapat menahan rasa harunya. Ia langsung memeluk lembut Mona. Pada satu sisi dirinya merasa sedih harus melepas Mona setelah apa yang terjadi pada wanita itu, tetapi ia juga bahagia bahwa Mona bisa menikah lagi.

"Meski kau masih tinggal di Tembagau, tetapi jarak rumah kita akan cukup jauh," ujar Masita melepas pelukannya.

"Aku akan berkunjung setiap akhir pekan," balas Mona tidak mau membuat ibunya merasa sedih.

Kepala Masita mengangguk pelan. "Tentu saja." Ia kemudian bangkit dari tempat tidur. "Kalau begitu Ibu keluar dulu. Sepertinya ... akad nikahnya sudah selesai dan mereka dalam perjalanan ke sini."

Mona hanya mengulum senyum mendengarnya. Ia kemudian melihat ibunya mulai keluar dari kamar. Sudah banyak anggota keluarga dan teman-temannya, khususnya tetua wanita yang mendatanginya sejak pagi. Memberi nasihat akan kehidupan pernikahan serta ucapan doa dan harapan.

Masita adalah orang terakhir yang mengunjungi Mona, sebelum Galih dan rombongan akan segera datang. Setelah itu, acara pesta pernikahan akan segera digelar di salah satu hotel pada malam harinya.

Mona menarik napasnya. Ia bangkit dan menuju salah satu laci dekat tempat tidurnya. Membuka isi laci tersebut dan mengambil sebuah buku berjudul Laut Bercerita yang di bawahnya terdapat buku berjudul Madilog.

Tangan Mona perlahan membuka buku Laut Bercerita. Pada bagian sebuah halaman yang ia berikan tanda pada kalimat "ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan," ada sebuah amplop yang terselip di sana.

Napas Mona menjadi berat, kala tangannya mulai membuka isi amplop tersebut. Sebuah surat yang ditulis tangan oleh Angga kemudian mulai dibacanya. Sebenarnya Mona telah menerima surat itu sejak jasad Angga dipulangkan, tetapi dirinya tak pernah sanggup membukanya. Lebih tepatnya Mona belum bisa menerima kematian lelaki itu.

Kepada Mona, istriku tercinta. Umur memang tidak ada yang tahu, ketika aku menuliskan surat seperti ini, berarti aku akan menjalani tugas yang berat.

Menaruh surat ini dalam loker, berharap bisa kembali dan merobeknya. Namun jika pada akhirnya surat ini sampai di tanganmu dan dibaca olehmu, berarti aku telah tiada.

Ada banyak hal yang ingin kuceritakan, tetapi tebalnya buku-buku sejarahmu mungkin tak akan sebanding dengan ceritaku. Oleh karena itu, biarkan aku mencoba sepatah kata saja.

Bahwa betapa bahagia dan beruntungnya aku bertemu denganmu. Bisa menerima cintamu dan akhirnya menikahimu.

Terima kasih kepada Ayahanda yang telah mempertemukan kita. Salam kepada Ibu yang selalu menganggapku sebagai putranya sendiri dan ... aku untukmu sendiri, cintaku padamu tak akan lekang oleh waktu bahkan mungkin akan abadi.

Ikatan SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang