6. Sebelum Cahaya

358 25 6
                                    

Mona memegang bibir yang kemarin beradu dengan milik Galih. Ia tahu tak seharusnya dirinya merasa marah apabila pria itu melakukannya, karena mengingat status Galih yang telah menjadi suaminya. Namun Mona merasa, kemarin Galih cenderung memaksakan hal tersebut. Meski itu masih bernapas lega bahwa pria itu tak berbuat lebih jauh. Mungkin lebih tepatnya, belum.

"Bangunlah."

"Apa?"

Mona tersentak, karena ternyata Galih sudah terbangun. Padahal ia bisa melihat jam dinding hotel masih menunjukkan pukul lima subuh.

Mau tidak mau, Mona terpaksa membalik tubuhnya. Menemukan suaminya itu sudah melepas bajunya. Matanya seketika berpaling. "Matahari bahkan belum terbit."

"Oleh karena itu, aku ingin mengajakmu ke sana. Melihat matahari terbit dari atas mercusuar."

Balasan Galih sontak membuat Mona terkejut. Ingatan akan janji Angga memperlihatkan matahari terbenam di mercusuar kembali terpatri di kepalanya.

"Aku akan mandi terlebih dahulu, lalu kita salat bersama sebelum ke sana."

Mona tidak dapat membalas lagi, karena selain masih terpaku dengan ajakan lelaki itu, Galih telah beranjak menuju kamar mandi.

Helaan napas mulai terdengar dari Mona. Ia kemudian memilih bangkit dari ranjang dan mencoba membuka tirai jendela kamar hotel. Langit masih biru kegelapan, belum tampak bias cahaya mentari.

Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepala Mona saat ini. Ajakan Galih tidak pernah terlintas dalam otaknya. Rasanya aneh memikirkan dirinya akan mengunjungi mercusuar tersebut, ketika mengingat bahwa di masa lalu ia memiliki janji yang tak terpenuhi. Seolah, kehadiran Galih menggantikan pemberi janji sebelumnya.

Sebelum Mona berpikir lebih jauh, Galih telah selesai mandi. Ia pun berganti melakukannya. Usai itu, keduanya mulai menunaikan salat bersama. Dipimpin oleh Galih sebagai imam. Mendengar lantunan ayat suci yang telah didengar oleh Mona beberapa hari ini, maka sulit percaya bagi wanita itu bahwa suaminya itu pernah masuk penjara, karena narkoba.

Setiap orang pernah berbuat salah. Itulah kalimat yang coba ditanamkan Mona pada dirinya, bahwa mungkin Galih pernah tersesat di masa lalu, karena barang haram tersebut. Ia hanya berharap bahwa hal itu tidak akan pernah jadi penghalang atau masalah dalam kehidupan pernikahan mereka pada masa yang akan datang.

"Kau sudah siap?" tanya Galih begitu Mona telah mengambil tas selempangnya.

Mona mengangguk singkat. Ia kemudian sedikit tersentak begitu merasakan Galih menarik tangannya untuk keluar dari kamar hotel. Seperti perkiraannya, lobi hotel masih sepi bahkan hanya ada beberapa pegawai yang melintas, tampak mulai sibuk menuju restoran hotel untuk menyiapkan sarapan.

"Mas Galih, kita ke sana pakai apa?" tanya Mona melirik tautan tangannya dengan lelaki itu.

"Kau akan tahu nanti," balas singkat Galih.

Mona pun hanya mengikuti langkah cepat pria itu. Ia pun sedikit menduga bahwa salah satu alasan mengapa Galih memegang tangannya saat ini adalah agar bisa berjalan beriringan. Gerak kaki Galih benar-benar cepat, hingga Mona tak sempat melihat sekelilingnya.

Akhirnya setelah Galih berhenti, Mona dapat mengetahui bahwa mereka sekarang berada di basement parkiran. Mata Mona kemudian tertuju pada sesuatu di depannya, ia ingin mengelak hal tersebut, tetapi Galih malah telah duduk dengan gagah di atasnya.

"Apa yang kau tunggu? Ayo naik," ujar Galih menepuk bangku belakang sebuah motor sport berwarna hitam yang terlihat kukuh.

Mona mengerjap. Ia belum pernah menaiki motor sejenis itu sebelumnya. Bahkan ayahnya selalu melarang Malik setiap kali akan membawanya jalan-jalan dengan motor skuter adiknya itu. Apalagi kalau bukan takut dirinya akan mengalami kecelakaan.

Ikatan SuciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang