Suasana ruang tunggu yang mirip bak cafe mewah tampak sepi. Meski di seberang terdapat Coffee & Bakery Shop serta Food Court terlihat melayani beberapa pembeli yang ingin santai ataupun menunggu kabar pasien. Pikiran Mika seperti benang kusut. Banyak hal yang berkecamuk di benaknya. Tentang pernikahan, pekerjaan Reihan, kondisi kesehatan Reihan, dan hal apa saja yang akan terjadi setelahnya.Lamunan Mika bercerai-berai. Ia terkesiap ketika sebuah tote bag kertas diletakkan di atas meja dengan kasar. Kemudian seplastik makanan dan minuman juga mendarat di hadapan Mika.
"Makan dulu," kata Raka sambil membuka plastik makanan dan minuman.
Mika menyahut dengan malas, "Nggak lapar."
"Lapar atau nggak, Mika harus makan. Kalau Mika sakit, siapa yang jagain Reihan nanti?" tutur Raka seraya memberikan sekotak burger, kentang goreng dan sebotol air mineral.
"Bang Reihan juga belum makan," ujar Mika yang membuat Raka mengembuskan napas dengan kasar.
"Reihan udah makan cairan infus dari tadi pagi buta. Dia nggak akan kelaparan. Makan!"
Raka menyuapkan sepotong kentang goreng ke mulut Mika. Mika menatap Raka dengan perasaan bercampur aduk. Kesal, bingung dan letih lesu. Perlahan mulut Mika sedikit terbuka, membuat Raka tersenyum penuh arti.
"Makan sendiri. Abang juga belum makan tadi," keluh Raka sambil melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul setengah dua siang.
"Mika nggak tanya," sahut Mika sebelum memakan burger.
Raka mendengus sebal, "Sabar, Raka. Sabar."
Setelah gigitan ke empat dikunyah, Mika berhenti untuk makan. Kemudian meminum air mineral hingga merasa kenyang. Ia memandang Raka yang sedang makan burger dengan lahap sembari memerhatikan orang yang berlalu lalang.
"Apa Abang pernah tertembak?" tanya Mika serius.
"Sering. Kenapa?" Raka menyahut ketika sudah berbalik menatap Mika.
"Abang nggak takut?"
"Takut apa?"
"Ya, takut. Gimana kalau Abang nggak bisa hidup lagi?"
"Hidup dan mati itu sudah diatur sama Allah. Abang di sini tinggal menjalankan kewajiban aja. Kalau kewajiban sudah dilaksanakan dengan baik, insyaAllah hak kita pasti akan didapat."
"Jadi, Abang nggak pernah takut?"
"Pernah, selalu. Abang takut kalau seandainya nanti mati tapi belum bisa husnul khatimah. Gimana pun nanti, yang Abang lakukan hanya berusaha menjadi orang baik. That's it."
"Gimana kalau Bang Reihan nggak bangun-bangun?"
Raka menjentikkan jarinya di dahi Mika, "Reihan pasti bangun!"
Kedua mata Mika merebak. Merasakan sakit di dahi dan sesak di dada. Perlahan air matanya meluruh tak tertahankan.
"Mika takut, Bang," ungkap Mika yang sudah menangis.
Raka segera memeluk Mika untuk menenangkan, "Berdoa sama Allah supaya Reihan selalu baik-baik aja. Reihan nggak akan semudah itu buat menyerah."
Mika kembali menangis. Pikiran-pikiran buruk telah berhasil merasukinya. Ia merasa benar-benar ketakutan. Penyesalannya akan semakin bertambah jika Reihan tak kunjung terbangun.
♡♡♡
Selepas salat asar, Mika kembali menjenguk Reihan. Ia menatap wajah pucat Reihan dengan sendu. Digenggamnya tangan Reihan dengan hati-hati. Rasa rindu bercampur takut kembali menyeruak di diri Mika.
"Abang nggak kangen sama Mika?" ujar Mika menahan tangis.
"Mika kangen banget sama Abang. Seharian ini, Mika belum dengar suara Abang," tambah Mika yang mulai meneteskan air mata.
"Abang harus bangun. Mika takut, gimana kalau Ayah sama Ibu tanya kabar Abang? Mika harus jawab apa?"
Mika menangis tersedu-sedu. Diciumnya tangan Reihan cukup lama, seakan menyalurkan segala rasa yang meruap-ruap.
Tiba-tiba Mika terdiam. Menatap jemari tangan Reihan yang bergerak. Ditatapnya kedua mata Reihan yang masih tertutup.
"Abang...," panggil Mika tergagap sebelum menekan tombol merah untuk memanggil dokter dan perawat.
Senyum kecil Mika tersungging, diiringi tangis bahagia ketika melihat kedua mata Reihan perlahan terbuka.
"Alhamdulillah," gumam Mika.
Mika memerhatikan dokter-dokter yang sedang memeriksa Reihan. Seulas senyum Mika kembali tersungging saat mendengar suara Reihan yang sedikit serak. Rasa bahagianya seakan meluap-luap ingin membeludak.
"Setelah kondisi Agent Rei stabil, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan," terang salah satu dokter sebelum semuanya berpamitan keluar.
Kepala Mika menunduk ketika para dokter dan perawat bergantian keluar dari ruang perawatan intensif Reihan. Mika terdiam saat mendapati Reihan yang sedang menatapnya dalam diam. Perlahan kedua kaki Mika melangkah mendekati sang kekasih.
"Maaf," kata Reihan lirih.
Mika menggeleng dengan kedua mata yang sudah merebak, "Mika yang harusnya minta maaf sama Abang. Maafkan, Mika."
Reihan kembali terdiam. Tak memberi balasan apa pun atas pernyataan Mika. Ia hanya memandang Mika sembari mengingat-ingat kejadian sebelum tertembak dan tak sadarkan diri. Ia pun teringat bagaimana Mika marah karena kesibukannya beberapa hari terakhir.
"Abang belum sempat bicara sama Ayah dan Ibu soal pembatalan pernikahan kita. Maaf," tutur Reihan dengan suara yang masih lemah.
Air mata Mika jatuh menetes. Ingatannya ketika meminta membatalkan pernikahan dengan Reihan membuat dada terasa sesak. Lidah pun terasa kelu untuk membalas perkataan Reihan. Hanya air mata yang bisa mengungkapkan perasaan Mika saat ini.
Tbc.
¤¤¤01April.21
KAMU SEDANG MEMBACA
Youniverse
Short StorySemua tentang kamu. Antara asa, cinta dan keluarga. Apa pun itu, ketiganya akan menjadi satu. Satu yang mungkin tak akan pernah bisa dipilih olehmu. Apakah kamu mampu? Mampu mewujudkannya menjadi satu? Semoga begitu, karena kamu adalah Youniverse-ku.