Juli meringis kesakitan sembari memegangi luka di perutnya. Luka tusuknya tiba-tiba saja kembali mengeluarkan darah, karena aksinya saat menyerang lawan beberapa menit lalu. Ia menghela napas panjang menahan rasa sakit.
"Perumahan Puri Indah, jalan Cut Nyak Dien nomor 88, kan, Mbak?" tanya sang supir taksi ketika baru saja memasuki gerbang pintu masuk perumahan.
"Iya, Pak," jawab Juli lirih.
Sang supir mengangguk mengerti. Ia pun mencari rumah yang dituju Juli dengan teliti. Dilihatnya nomor rumah satu demi satu agar tak terlewat. Setelah beberapa menit, taksi yang ditumpangi Juli berhenti tepat di sebuah rumah mewah dan megah.
Sesudah membayar, Juli berterima kasih. Kemudian segera turun setelah memastikan bahwa tak ada darah yang menetes di dalam taksi. Kedatangan Juli disambut oleh seorang security yang menyapanya.
"Selamat malam, Mbak," sapa security itu dengan sopan.
Juli tersenyum tipis, "Selamat malam, Pak. Saya ingin bertemu dengan Archie-dokter Archie."
Seakan sudah mengetahui dimana tempat tinggal Archie, Juli tidak perlu berbasa-basi untuk bisa bertemu dengan sang dokter. Ia harus bersikap normal agar diizinkan untuk memasuki rumah Archie. Meski smartwatch-nya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Kalau boleh tahu, Mbak siapa?" tanya security kembali.
"Saya Juli. Pacarnya Archie. Apa Archie ada di rumah?" terang Juli yang sempat membuat security tersebut terkejut.
"Sebentar, ya, Mbak."
Juli mengangguk ketika security itu kembali masuk ke pos jaga. Memberitahu temannya bahwa Juli ingin bertemu dengan Archie. Ia pun segera menelepon seseorang. Dengan samar Juli sedikit mendengar percakapan tersebut dari luar pos jaga.
Sedang di dalam rumah, Archie kembali melirik smartphone-nya yang sedari tadi masih sunyi sepi tanpa notifikasi dari seseorang yang ditunggunya. Ia tampak gelisah kala menunggu kabar dari orang tersebut. Hal yang tak pernah Archie rasakan kepada orang lain selain ke keluarganya. Jantungnya berdegup keras ketika suara dering telepon rumah berbunyi.
Archie memerhatikan dengan serius saat ibundanya mengangkat telepon itu. Tubuhnya seakan kaku mendapat tatapan penuh tanda tanya dari sang ibunda.
"Pacar Archie?" pekik Aresh, ibunda Archie.
"Iya, Bu. Apa Mbak Juli diizinkan untuk masuk?" tanya security bernama Roni.
"Iya, tolong antar, ya, Pak."
"Baik, Bu."
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama, Ibu."
Aresh menghampiri Archie yang tampak kebingungan. Archie benar-benar tak bisa menutupi kekacauan hati di hadapan ayah dan ibunya. Berbeda dengan Archie, Aresh tersenyum sumringah dan bersiap untuk melontarkan berbagai macam pertanyaan kepada putranya.
"Kenapa nggak dikenalin sama Bia, Bang?" goda Aresh kepada Archie.
"Dia bukan pacar Archie, Bia," jelas Archie yang membuat kedua orang tuanya terkejut.
"Kalau bukan pacar, terus kenapa dia ngaku-ngaku pacar Abang?" desak Aresh ingin tahu.
Archie tersenyum kikuk, "Nanti Archie jelasin ke Ayah dan Bia. Archie keluar dulu."
Sesudah melalui pemeriksaan, Juli diantar masuk oleh Pak Roni. Ia berjalan perlahan di belakang Roni sambil menahan rasa sakit.
Juli memandang pohon-pohon pucuk merah yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju halaman rumah Archie. Pohon-pohon itu menambah keasrian rumah mewah bergaya eropa yang tampak berdiri kokoh karena pilar-pilar besar penyangganya. Senyum kecil Juli tersungging saat teringat ucapan Archie yang menolak untuk menjadi temannya. Kehidupan Archie sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youniverse
Short StorySemua tentang kamu. Antara asa, cinta dan keluarga. Apa pun itu, ketiganya akan menjadi satu. Satu yang mungkin tak akan pernah bisa dipilih olehmu. Apakah kamu mampu? Mampu mewujudkannya menjadi satu? Semoga begitu, karena kamu adalah Youniverse-ku.