Mohon Vote Sebelum Maupun Setelah Membaca. Terimakasih Sudah Mendukung Cerita Ini! Selamat Membaca!❣
✧═════•❁❀❁•══════✧
"Selamat pagi." Sapaku kepada semua orang begitu memasuki toko. Bisa kulihat koki utama kami yang tempo hari absen, kini sudah sepenuhnya sehat terlihat dari caranya menyambutku dengan sebuah senyuman diwajahnya. "Kak Gabyyy!" Aku berteriak seraya berlari memeluknya. "Bayangkan hidupku tanpa dirimu, tempo hari aku sampai membuat Pak Leon memanggang roti melon dengan tangannya yang halus itu."
"Baguslah, sejatinya tangan lelaki tidak boleh lebih halus dari tangan perempuan, tidak sopan." Kata kak Gaby mencemooh Pak Leon yang sedang sibuk mengelap meja pelanggan.
Pak Leon dengan senyum ramahnya menghampiri kami, kemudian menyentil dahi Kak Gaby dengan keras. "Kau harus ajari dia resep yang lebih sulit, jangan sampai kejadian seperti tempo hari terulang."
Kak Gaby tentu menggerutu padanya sambil terus memukul punggung Pak Leon berkali-kali.
Meski dari luar mereka terlihat seperti musuh, namun dimataku mereka terlihat sangat dekat. Aku pernah mendengar bahwa Pak Leon dan Kak Gaby adalah teman semasa di akademi Pastry dulu, namun aku tidak pernah mengira mereka sedekat ini hingga terkadang membuatku sedikit iri pada Kak Gaby. Dengan parasnya yang seperti bidadari, tentu saja Kak Gaby memang pantas jika disandingkan dengan Pak Leon, mereka terlihat seperti seorang Putri Raja bahkan jika hanya dilihat dari jauh.
.
.
Sesuai titah Pak Leon, aku belajar lebih keras untuk membuat resep roti yang lebih sulit, aku bahkan mulai belajar membuat keik. Hampir setiap hari toko diserahkan padaku karena aku melembur di dapur demi mengasah kemampuanku. Sesekali Kak Gaby ikut melembur hanya untuk mencicipi rasa rotiku yang belum seberapa jika dibandingkan dengan mahakaryanya."Arrrhg! Kenapa dalamnya selalu tidak matang??" Teriakku frustasi setelah membuat roti kari untuk yang kesekian kalinya.
"Kalau kau terus mengeluh, kau tidak akan pernah bisa membuatnya." Kata Kak Gaby memasuki dapur, yang ternyata ada Pak Leon menyusul dibelakang.
Pak Leon menggigit roti itu, matanya menatap ke sembarang arah sambil merasakan rotiku dengan cermat. "Benar, kari nya belum sepenuhnya matang. Lain kali coba untuk merebusnya sedikit lama dengan suhu yang rendah."
"Baiklah~" anggukku pasrah sebelum Pak Leon melirik sebuah keik kecil berwarna putih tepat di sebelah piring roti yang ia makan barusan.
"Kau juga yang membuatnya?" Tanyanya terkagum melihat visual keik itu yang memang ku akui aku hebat dalam menatanya, namun aku sendiri masih belum puas dengan rasanya, tidak mungkin aku berani meminta orang lain untuk menilainya. Apalagi jika dia adalah Pak Leon.
"Ah, itu. Jangan dulu dicoba, aku belum merasa-" tak sempat aku menyelesaikan kalimatku, Pak Leon mengangkat sendoknya untuk mencicip sisi dari keik itu. "Aaaa!! Pak!! Jangan dimakan! Kumohoon!" Aku merengek sambil berusaha merebut sendok itu dari tangannya. Namun dengan tinggi badan Pak Leon yang semampai, tentu saja aku harus melompat-lompat demi mencapai tangannya yang semakin ia angkat dengan tinggi.
Pak Leon hanya tertawa geli sementara aku masih terus mencoba meraihnya. Tak kehabisan akal, aku mendesaknya ke cabinet bertujuan agar ia tak bisa lagi bergerak mundur.
Sesuai dugaan, Pak Leon terdesak dan tak bisa lagi bergerak, namun dengan gesit ia malah melipir ke kanan hingga sikunya tak sengaja menyenggol loyang panas yang barusan kugunakan dan belum sempat ku rendam di air dingin.
Alih-alih mengenai Pak Leon, tanpa pikir panjang aku menangkap loyang itu dengan tangan kosong. Tanganku terasa seperti terbakar, secara reflek aku langsung melempar loyang itu ke bawah kemudian mengepak-ngepakkan telapak tanganku untuk mengurangi rasa panasnya.
"Becca!" Teriak Pak Leon dan Kak Gaby seraya menghampiriku dengan tergesa-gesa. "Kau tak apa-apa?" Lanjut Pak Leon dengan ekspresi khawatir namun Kak Gaby malah mendaratkan pukulannya pada kepala teman sekolahnya itu.
"Malah bertanya!? Tentu saja anak ini terluka!" Kak Gaby menarik tanganku dengan paksa kemudian membasuhnya dengan aliran air dingin di westafel. "Memangnya kalian anak kecil!? Jelas dapur itu berbahaya, kalian malah bermain-main seperti bocah! Leonardo, kau atasannya disini, bukannya memberi contoh, kau malah membuat seseorang terluka." Meski mulut Kak Gaby terus membentak, namun tangannya sangat lembut saat ia perlahan membasuh telapak tanganku yang terlihat merah dan membengkak.
"Haruskah ku bawa ke rumah sakit?" Tanya Pak Leon setelah Kak Gaby selesai membasuh tanganku.
"Tentu saja bodoh! Melihat tangannya melepuh seperti itu kau pikir akan kempes hanya dengan air? Cepat antar dia! Aku yang akan menutup toko." Ujar Kak Gaby sebelum akhirnya Pak Leon benar-benar mengantarku ke rumah sakit tanpa sempat aku menolak.
.
.
.
"Rebecca, sungguh aku minta maaf" ucapnya berkali-kali diperjalanan pulang. Aku bilang aku telah memaafkannya meski aku memang tidak pernah marah sedikitpun karenanya. Namun Pak Leon terus saja meminta maaf bahkan setelah tanganku terbungkus rapih dengan perban. "Becca, kalau saja luka ditanganmu membekas, aku akan lakukan apa saja demi menebusnya.""Benarkah?" Tanyaku setelah ide jahil tiba-tiba muncul di pikiranku. "Apa saja?" Tanyaku lagi meyakinkannya lalu dijawabnya dengan sebuah anggukkan . "Kalau begitu ayo bercinta denganku."
Tanpa merasa canggung Pak Leon langsung terkekeh, matanya masih terfokus pada jalan, namun satu tangannya di lepas dari stir lantas mengusap gemas kepalaku.
"Aaa! Aku muak dengan usapan tanganmu. Pak Leon selalu saja menganggapku seperti anak kecil." Aku menghempaskan tangannya tak sedikitpun menggunakan tenaga, ia nampak bingung namun masih tetap mempertahankan senyuman di wajah tampannya itu. Aah, Ternyata hati bisa juga di taklukkan hanya dalam 3 detik. "Lihat? Kalau kau terus saja tersenyum seperti itu bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta padamu?" Aku melipat kedua tanganku menunjukkan rasa kesal yang dibuat-buat, namun Pak Leon tetap mengelus lembut pucuk kepalaku.
"Kuharap kau melakukannya dengan seseorang yang juga mencintaimu." Ucapnya singkat membuatku tiba-tiba terdiam. Entah apa yang ia pikirkan setelah berkata seperti itu, tapi kalimatnya tentu membuatku mengingat hal-hal yang ku lakukan di masa lalu, dimana dengan mudahnya aku bercinta hanya demi membeli barang-barang yang kusukai. "Dari sini ke kiri?" Tanyanya memecah fokusku.
"Ah! Benar, itu rumahku." Kataku tertuju pada rumah yang tak jauh dari tempat kami berada. "Terimakasih atas tumpangannya Pak. Soal kau akan melakukan apa saja untukku-"
"Kalau permintaanmu seperti itu, aku ragu aku bisa mengabulkannya."
"Aah, pikiran pria ini benar-benar kotor. Tidak, luangkan saja waktumu di akhir pekan. Kencan ke taman bermain denganku bukan hal buruk, kan? Kita lihat seberapa besar nyalimu saat menaiki roller coaster disana."
Pak Leon terkekeh untuk kesekian kalinya, ia melepaskan seatbeltku kemudian menyipitkan matanya menatapku. "Baiklah, siapa takut?"
Begitulah kami berpisah, meski aku masih tak mengerti mengapa Pak Leon begitu teguh meski ku goda secara terang-terangan beberapa kali, namun aku tetap merasa senang bisa mendapatkan waktunya di akhir pekan hanya untukku seorang.
Aku berhenti di depan gerbang rumahku untuk sekedar menatap langit malam. Seandainya malam itu aku tidak memutuskan untuk berhenti menjadi pekerja sex, bisakah aku jatuh cinta sampai tergila-gila seperti ini?
Tanpa repot memikirkan jawabannya aku segera masuk ke dalam rumah, menimbang udara malam di musim gugur bisa membuat kencan akhir pekanku berantakan.
To Be Continue...
✧═════•❁❀❁•══════✧
KAMU SEDANG MEMBACA
My Youth
RomansaNamaku Rebecca Brown. Karena ingin memiliki barang-barang bermerk, saat SMA kelas 1 aku menjadi pekerja sex. Tapi akhirnya, aku berhenti dan bekerja di sebuah toko kue. Aku ingin melupakan masa laluku dan jatuh cinta dengan normal, tapi aku ragu. Ap...