12. Bukannya Berempat, Ya?

33 5 0
                                    

Motor matic berwarna hitam mulai membelah jalanan yang terasa ramai oleh lalu lalang kendaraan lain. Lingkaran tangan Wilda di perut Ibra membuat dirinya bertambah kehangatan. Seolah semesta tahu kalau dirinya ingin semua terulang kembali.

Dulu, motor matic inilah yang selalu membawa mereka berdua kemanapun tempat yang mereka tuju. Momen ketika mereka masih berpacaran sekarang terulang lagi. Kenangan yang ingin Wilda dan Ibra ingat kembali. Semuanya terasa benar. Tak ada rasa kesal meliputi diri Wilda. Ia rindu akan kenangan mereka berdua.

Mengelilingi satu tempat ke tempat yang lain. Mencicipi makanan dari satu kedai ke kedai yang lain. Mencari barang dari satu toko ke toko yang lain. Semua yang dilakukannya dulu bersama Ibra.

Pelukan terasa erat kala Wilda menempelkan kepala di punggung Ibra. Ia ingin seperti ini. Ingin berlama-lama dekat dengan Ibra. Ibranya yang dulu selalu membuat dirinya rindu. Ibra yang setiap harinya selalu ada. Ibra yang senantiasa memberinya tawa bahagia. Wilda hanya ingin semua kenangan saat mereka berpacaran terulang kembali. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini, mengingat statusnya sekarang adalah mantan.

"Kamu ngantuk?" tanya Ibra mengusap lutut Wilda. Mereka tengah berhenti saat lampu berwarna merah.

Wilda menggeleng di balik punggung Ibra. "Kalau ngantuk bilang ya, aku takut kamu jatuh." Sekali lagi Ibra mengusap lututnya.

"Iya Pak, tenang aja. Gak akan ngantuk kok." Wilda mengeratkan pelukannya. Mengucapkan kata 'pak' seolah mengejek dan menyuruhnya diam tak bicara.

Ibra terkekeh mana kala pelukan Wilda sangat erat. Meskipun begitu, ia terlewat senang akan sikap Wilda yang sudah mulai menerimanya kembali.

Lampu berubah menjadi warna hijau. Ibra melajukan kembali motornya. Sebentar lagi mereka akan sampai di rumah Dino. Hanya sekitar empat menit lagi.

Wilda yang kepalanya masih bersandar di punggung Ibra, merasa dirinya mulai mengantuk. Tak sadar Wilda menguap beberapa kali. Padahal tadi dia bilang tidak akan mengantuk. Apakah ini efek dari sandaran punggung Ibra?

Motor kini telah berhenti di sebuah halaman rumah yang besar. Ibra memarkirkan motornya terlebih dahulu. Setelahnya ia turun dari motornya. Namun, sebuah tangan menahan perutnya, seolah tak ingin lepas dari pelukan itu.

Ibra menoleh pada Wilda, "Wil, lepas ini tangannya. Aku mau turun."

Wilda menguap lagi, matanya pun sedikit terpejam. Ibra yang melihatnya menggeleng kecil. "Hah? Emangnya udah sampai ya?"

"Katanya gak akan ngantuk, tapi itu apa namanya? Nguap, matanya udah merem gitu. Ye dasar!" Seloroh Ibra dengan memukul pelan helm yang dipakai Wilda, sehingga si empunya mengerucutkan bibirnya kesal.

"Ayo turun. Lepas dulu ini tangannya." Ajak Ibra dengan nada yang lembut.

Wilda mengangguk. Melepas pelukannya, lalu turun dari motor. Ibra pun turun dari motornya, melepas helm dan menaruhnya di spion motor.

Tak kuat menahan kantuk, Wilda segera menarik tangan Ibra untuk mengajaknya masuk ke rumah Dino. Ibra yang melihat kelakuan Wilda, membuatnya tertawa terbahak-bahak dengan masih diam di tempat. Wilda menatap aneh pada Ibra yang malah menertawakan dirinya.

"Kenapa sih?" tanya Wilda dengan mata sayunya yang sedang menahan kantuk.

"Kamu kalau ngantuk ya boleh, tapi helmnya dilepas dulu kali. Masa mau dipake terus sampai ke dalam?" ucap Ibra dengan tawa gelinya.

Seakan tersadar, Wilda langsung memegang kepalanya yang memang masih memakai helm. Pantas saja kepalanya terasa berat. Wilda yang melihat Ibra masih tertawa, menjadi malu. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Kenapa gak bilang dari tadi," cicit Wilda menahan malu. Sekarang rasa kantuknya sudah hilang tergantikan dengan rasa malu. Ia melakukan suatu kebodohan yang memalukan di depan mantan!

Ibra maju untuk melepas kaitan di helm Wilda. "Makanya jangan buru-buru gitu. Aku baru aja lepas helm, kamu udah ngajak jalan aja. Kamu sendiri belum lepas helm kamu tadi. Jangan ceroboh gini, untung yang lihat cuma aku doang. Coba di depan umum, mungkin banyak yang ngetawain kamu," ucap Ibra menahan tawanya.

Wilda lagi-lagi mengerucutkan bibirnya. Setelah helmnya terlepas dari kepala Wilda, Ibra mengusap kepalanya. "Udah nih, sekarang ayo masuk. Jangan cero--" kata-kata Ibra terpotong dengan ucapan Wilda.

"Iya ih gak usah diingetin terus. Aku malu jadinya!" kata Wilda dengan dengusannya. Ibra terkikik geli melihat Wilda yang sudah melangkah maju ke depan pintu rumah sendirian.

"Dasar mantan," kekeh Ibra sendiri.

***

Pintu rumah Dino terbuka, sang pemilik rumah menyambut Ibra dan Wilda yang baru saja sampai. Tak ingin berlama-lama berdiri di luar, Dino segera mengajak masuk keduanya. Mengarahkan mereka untuk langsung berjalan ke halaman belakang di mana yang lain sudah berada disana.

"Amel udah disini kan, No?" tanya Wilda memastikan pada Dino kalau sahabatnya memang sudah sampai dengan selamat.

"Kalem aja, dia udah mulai masak malah. Daritadi sibuk terus dia."

Ibra mendengus, "yang punya rumah malah diem terus cuma liatin ya, No." Dino terkekeh mendengar celetukan Ibra.

"Ini kita cuma berempat kan ya?" tanya Wilda.

"Ada sepupu gue juga, Wil. Sekalian bantuin juga." Wilda menganggukkan kepalanya mengerti. Mungkin sepupu laki-lakinya itu mau bergabung bersama mereka.

Dari arah dapur, ada perempuan yang datang sambil memegang piring lalu berjalan ke arah mereka bertiga.

"Hai Ibra! Baru sampai ya? Aku kangen kamu, udah lama gak ketemu. " Sapa perempuan tadi yang tersenyum manis pada Ibra.

Dino menggaruk kepalanya kikuk. Pasalnya ia tak menduga sepupunya akan menyapa sahabatnya seperti itu. Apalagi di dekat mereka ada Wilda, perempuan yang sedang Ibra perjuangkan kembali.

Wilda yang melihat itu langsung memasang raut wajah datar. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana. Perempuan di hadapannya ini dengan tidak tahu malunya mengatakan bahwa ia rindu pada Ibra. Di hadapan orang lain. Wah, Wilda kesal bukan main.

Melirik pada laki-lakinya di sampingnya, Wilda menggeram melihat Ibra membalas senyum perempuan itu. Ah Wilda kira sepupu Dino itu laki-lakinya, ternyata yang sedang berada disini adalah sepupu perempuannya, Resti.

"Baik, Res. Iya baru sampai," jawab Ibra dengan tenang. Tidak tahu saja kalau mantannya ini sedang menahan kesal.

"Oh kalau gitu ayo Ibra kita ke taman. Bantuin aku bawa piring juga ya," pinta Resti tanpa menunggu jawaban Ibra. Tak lupa tangan Ibra pun ikut ditarik untuk mengikuti dirinya.

Mereka pun berlalu meninggalkan Dino dan Wilda.

"Orang yang di sini gak cuma Ibra aja. Tapi kenapa yang disapa dia doang. Emangnya gue setan apa gak kelihatan. Ih." Wilda mengatakannya dengan pelan, tetapi masih bisa terdengar Dino. Wilda benar-benar kesal ditinggalkan seperti ini. Apalagi Resti tidak menyapanya sama sekali. Seolah dirinya hanya angin yang lewat saja.

Dino merasa bersalah atas sikap Resti yang keterlaluan tadi dan tidak sopan. Padahal Dino sudah bicara pada Resti untuk tetap menjaga sikap dan tidak semena-mena pada Ibra. "Wil, sorry banget sama sikap Resti tadi. Gue beneran malu."

"Yang harusnya minta maaf bukan lo. Udah lah gue jadi males. Gak usah minta maaf lagi."

"Gue beneran gak enak, Wil sama lo." Dino menatap Wilda meminta maaf.

"Gue gak kenapa-napa. Oh iya toilet mana?" tanya Wilda mengalihkan pembicaraan.

"Di arah kanan deket dapur."

"Oke, thanks. Oh iya, udah jangan merasa bersalah. Gue malah gak suka jadinya."

Wilda pun berlalu pergi ke toilet meninggalkan Dino yang menghela nafas kesal. Kesal pada sepupunya yang mengingkari janji.

"Sorry ya Wil." Gumam Dino.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Halo Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang