Pagi yang berbeda dari sebelumnya bagi Caca. Kali ini, setiap paginya ia akan terbangun hanya untuk memuntahkan isi perut. Rutinitas ini harus ia rasakan selama trimester pertama kehamilannya. Sangat menyiksa, namun Caca menikmati untuk pertama kali dihidupnya.
Ini baru jam lima pagi namun, lagi-lagi harus membangunkan Amar dengan suara berisiknya di kamar mandi. Selalu, Amar akan menghampiri Caca di dalam kamar mandi dan membantu istrinya.
Hal yang membuat Caca tak enak, sekarang ia dan keluarga kecilnya tengah berada di kediaman Agnibrata. Walaupun ia berada di kamar Amar yang didesain kedap suara, tetap saja mengganggu ketenangan isi rumah dengan Amar yang terus bolak balik ke dapur.
"Udah mendingan?" Tanya Amar setelah memberikan Caca air hangat.
Caca mengangguk pelan, ia masih lemas setelah mengeluarkan isi perutnya hingga tak tersisa. Kini ia hanya bisa duduk lemas di ranjang king size milik Amar.
"Maaf mas, aku bangunin mas lagi." Ucap Caca setelah merasa lebih baik.
Amar menghela napas panjang, tangannya mengelus surai Caca yang berantakan. "Kamu tidur aja lagi, ini masih pagi. Nanti biar anak-anak, saya yang urus." Amar melirik anak-anaknya yang masih tertidur pulas di ranjang kecil yang terletak di sebelah kasurnya.
"Aku nggak bisa tidur lagi. Mas Amar aja yang tidur lagi, kan semalam pulangnya larut." Tolak Caca.
Kemarin memang Caca lebih dulu diantar Amar ke rumah utama, lalu Amar baru menyusul malamnya setelah pulang bekerja.
Amar menggeleng, membawa Caca untuk ia peluk. "Saya juga ngga bisa tidur lagi."
Tak ada pembicaraan setelahnya. Caca yang menikmati pelukan hangat Amar serta elusan lembut di punggung terbukanya, dan Amar menikmati aroma Caca yang entah sejak kapan menjadi candunya.
Kalau boleh Amar jujur, Caca semakin cantik saat masa kehamilannya. Ia selalu ingin memeluk istri mungilnya setelah seharian lelah bekerja, tak ingin melepas barang sedetik pun.
"Mas, aku lapar."
Terdengar kekehan halus dari Amar yang membuat Caca mencebikan bibir. "Mau makan apa? Bibi jam segini belum masak."
"Mau bubur." Cicit Caca.
"Yaudah, saya pesan dulu." Amar ingin melepas pelukannya, namun ditahan kuat oleh Caca.
"Kemarin pagi aku liat di depan komplek ada bubur China, aku mau."
"Yaudah, lepas dulu Chantika, saya pesanin." Amar mengelus bibir Caca yang masih dimanyunkan.
"Nggak mau pesan mas~ maunya makan di tempatnya." Rengek Caca.
Caca tidak tau apa yang terjadi dengan dirinya, akhir-akhir ini ia jadi sering sekali merajuk dan merengek saat keinginannya tidak sesuai atau tidak terpenuhi. Doyna bilang itu bawaaan bayinya, tapi ia tidak menyangka akan separah ini dapat merubah sikapnya dengan cepat.
"Pesan aja ya, atau kita cari restoran yang nyediain menu bubur. Asal jangan makan di sana, tempatnya ngga higienis."
Satu lagi yang mengejutkan Caca selama masa kehamilannya. Ia jadi lebih sensitif dan mudah sekali menangis dengan hal yang menurut orang-orang sangat sepele.
"Aku cuma mau bubur di depan komplek!" Ucap Caca dengan sesegukan. "Kenapa sih, mas Amar selalu ngga bolehin aku makan ini itu hiks... hiks.... Tempat yang ada di pinggir jalan nggak semuanya jorok hiks... hiks..." Keluh Caca.
Setiap Caca menginginkan sesuatu, Amar selalu menolak untuk membelikannya di tempat yang Caca inginkan. Pria itu lebih memilih membelikan sesuatu di restoran yang sudah terjamin keamanan dan kebersihannya, yang mana sangat berbeda rasanya dengan tempat di pinggir jalan.
Amar memijat pangkal hidungnya, ia lelah karena lembur dan sudah terbangun pagi buta, sekarang sudah dipusingi dengan keinginan ngidamnya Caca.
"Kita beli di restoran atau nggak sama sekali." Final Amar. Ia abaikan Caca yang terus merengek, ia lebih memilih menghampiri anaknya yang tidurnya terganggu.
"Fine! Hiks... a-aku bisa beli se-endiri hiks..." Caca bangkit mengambil cardigannya untuk menutupi bahu telanjangnya, untungnya ia memakai dress tidur yang panjangnya sampai mata kaki.
"Chantika!" Panggil Mark dengan geram saat Caca keluar dari kamar. Ia bangkit segera menyusul istrinya.
"Chantika! Jangan kekanakan!" Amar baru bisa menahan istrinya saat sampai di bawah tangga. Ia berdecak karena harus menahan degupan jantungnya saat sang istri turun dari tangga dengan berlari kecil.
"Mas Amar yang ngeselin, aku cuma mau bubur di depan komplek! Nggak mau yang lain!" Caca menyentak tangan Amar yang bertenggar kuat menahan tangannya, ia dengan kasar menghapus air matanya.
"Chantika, dengerin saya–" Baru saja Amar berbicara dengan lembut namun, istrinya sudah memotong ucapannya. Ingin rasanya ia mengurung Caca di kamar tanpa boleh keluar seharian.
"Nggak mau." Potong Caca dengan bibir merengut lucu.
"Ini kenapa sih kalian ribut pagi-pagi?"
"Mami." Belum Caca menghampiri ibu dari Amar, suaminya lebih dulu mencegahnya.
"Ini kenapa Caca nangis Mark? Kamu apain?"
"Gapapa, mi."
Doyna berkacak pinggang, menatap tak percaya putra sulungnya. "Mau jujur atau kamu mami–"
Amar berdecak. "Chantika minta bubur di depan komplek, ngga aku izinin, di sana tempatnya ngga bersih."
Doyna kembali menggeleng tidak percaya dengan kelakuan anaknya. "Bubur di depan komplek itu tempat langganan mami sama papi, tempatnya bersih. Istri kamu lagi ngidam loh Mark, jangan dilarang terus kalau Caca lagi pengen makan, lagi hamil itu nafsu makannya berubah rubah."
Doyna mengelus surai legam menantunya yang masih sesegukan di samping anaknya. "Sekarang Caca lagi mau makan, kan kemarin cuma keisi dikit perutnya. Sana kamu anter mantu cantik mami makan."
Amar kalah, lebih tepatnya mengalah. "Oke, kamu tunggu sini, mas ambil dompet sama kunci mobil dulu."
Caca mengangguk setelah Amar mencium pipinya dan berlalu.
"Makasih ya mami." Ucap Caca dengan tulus.
"Sama-sama. Kalau kamu kepengen apa dan ngga dibolehin Amar, minta ke mami aja ya sayang."
🌻🌻🌻
Amar menatap Caca yang terus tersenyum setelah permintaannya dituruti, dengan lahap istrinya makan sate dan kerupuk yang ia taruh di piring. Tempatnya memang luas dan ramai, Amar memilih duduk di pojok agar tidak banyak interaksi dengan orang-orang."Suka?" Tanya Amar sambil mengelus pipi gembil Caca.
Caca mengangguk semangat. "Suka. Buburnya enak, besok mam di sini lagi ya mas."
"Iya, ini abisin dulu pelan pelan."
"Mas juga mam dong, jangan didiemin aja buburnya, kasian." Protes Caca.
"Iya, ini dimakan kok." Dengan berat hati, Amar memakan sesendok bubur. Ia kecap rasanya yang ternyata sangat enak, walau tidak memakai kuah seperti bubur pada umumnya. Ia kira rasanya akan seperti bubur orang sakit.
"Mas, nanti bungkus buat anak-anak ya."
"Iya."
"Mas, aku mau satenya lagi, boleh kan?"
"Boleh."
"Mas, aku mau tambah semangkuk lagi."
Amar menghela napas, menaruh sendok tidak jadi menyuapkan buburnya. Tangannya terangkat untuk mengelus pipi gembil sang istri dengan senyum tulus terukir.
"Iya, Chantika. Tapi, jangan terlalu kenyang nanti perut kamu sakit."
Mendengar jawaban dari sang suami, Caca terkekeh hingga matanya menyipit. Akhirnya ia bisa memakan makanan keinginannya walaupun harus berdebat lebih dulu.
^^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Parfait ✔
Fanfiction●Markhyuck Dari awal, Caca memang sudah tidak yakin dengan keputusan orangtuanya. Kedua orangtuanya menerima lamaran dari teman lama ibunya tanpa persetujuannya. Bahkan saat melihat calon suaminya, Caca sudah tidak yakin. Apalagi, Caca mempunyai dua...