Rahasia ₂₀

3.9K 597 46
                                    

Ruang kamar yang dipenuhi dengan ocehan serta tawa dua anak dan satu ibu itu terdengar begitu seru. Terlihat sangat bahagia dengan diiringi lagu anak dari ipad yang sedang dipegang si bungus.

"Ndah, ni?"

"Lion, sayang."

"Mirip papa ya, bunda."

Caca terkekeh dengan pernyataan Alan. Tangannya mengelus kepala anaknya dengan sayang. Bosan dengan ipad yang mereka tonton sedari tadi, kedua anaknya berail memeluk dirinya.

"Kenapa, hm?"

"Cel ocan."

"Cel bosan?" Tanya Caca saat Celyn berbicara dengan bahasa bayinya yang belum lancar.

"Hum."

"Alan juga bosan. Papa kemana ya? Alan mau main sama papa."

"Papa... Eum papa di kamarnya, lagi kerja. Nanti aja ya mainnya, kalau papa udah selesai kerjanya." Jelas Caca dengan bingung, pasalnya ia juga tidak tau Amar sedang apa di kamarnya.

Hari ini Amar keluar kamar hanya pagi dan siang untuk makan saja, entah apa yang dilakukan suaminya itu saat keluar kamar pun wajahnya sangat kusut. Sedangkan Yerim, wanita itu izin keluar pagi tadi dan akan pulang malam. Jadi, yang memasak makanan pun Caca.

"Alan sama Celyn udah lapar belum, sayang?" Tanya Caca saat jam menunjukkan angka setengah tujuh.

"Cel pal."

"Lapar?" Tanya Caca dengan gemas, wajahnya ia dekatkan untuk menciumi pipi gembil kemerahan anaknya.

"Ahahahaha ndah."

Aksi kelitikan pun terjadi, dengan Alan yang ikut mengerjai sang adik dan dibalas pula oleh Celyn. Caca ikut tertawa, namun sedikit menjauh dari kedua anaknya agar perutnya tak jadi sasaran.

"Udah yuk bercandanya. Kaka sama adek mau makan apa?" Tanya Caca sambil memisahkan kedua anaknya.

"Tiyoy!" Jawab si kecil dengan semangat.

"Mie!"

Caca mengernyitkan alis, menatap Alan dengan wajah marah dibuat. "No, sayang. Kemarin baru makan mie. Yang lain ya."

Alan mengerucutkan bibir. "Yaudah, Alan mau telor kayak dedek Celyn."

"Siap! Bunda bikin dulu ya."

Baru saja Caca ingin bangkit, dering ponselnya berbunyi, membuatnya tak jadi bangkit dan memilih mengangkat telfon lebih dulu. Bertepatan dengan ia mengangkat telfon, Amar datang dengan kaus dan celana trainingnya, wajahnya pun terlihat masih kusut.

Caca mengabaikan Amar, memilih kembali mendengarkan sang penelpon. Sedangkan Amar, mengernyit dengan tingkah sang istri yang sibuk dengan ponselnya.

"Papa!"

"Papa, ndong." Celyn merentangkan tangan ke arah Amar saat sang ayah menghampiri mereka.

Mark tersenyum memilih merebahkan diri di tengah kedua anaknya.

"Papa~" Rengek Celyn saat dirinya diabaikan.

"Sini, peluk papa aja." Mark merentangkan tangan, merengkuh Alan dan Celyn disisinya.

Celyn yang dipeluk sang papa begitu senang, menciumi wajah Amar dengan kekehannya. Sedangkan Alan, membalas pelukan sang ayah, namun matanya terus menatap lekat wajah Amar.

"Kenapa jagoan?" Tanya Amar yang sadar terus diperhatikan Alan.

"Papa cape kerja ya?"

"Hm? Nggak kok." Jawab Amar yang kini ikut memandang wajah Alan.

"Kata bunda, papa kerja cari uang banyak buat Alan, Celyn, bunda, sama dedek bayi. Papa cape ya kerja terus? Kalau cape, Alan aja yang kerja, biar papa ngga cape, terus papa bisa main lagi sama Alan kalau papa ngga cape." Ucap Alan dengan tangan mungil mengusap pipi dan dagu Amar yang mulai tumbuh bulu halus.

Amar terenyuh mendengarnya. Biasanya, saat ia lelah bekerja tidak ada yang menguatkannya, yang ia lihat setelah pulang kerja hanyalah rumah yang kosong. Kini, ia lelah bekerja pun rasanya langsung hilang saat sampai rumah, melihat kedua anaknya dan istrinya yang selalu menyambutnya pulang.

"Alan mau main sama papa?"

"Iya."

"Mas, aku mau masak buat makan malam, mas mau makan apa?"

Belum sempat Amar membalas ucapan Alan, Caca sudah berdiri di samping ranjang. Amar bangkit dengan hati-hati melepas kedua anaknya.

"Pesan aja."

"Nggak, aku mau masak. Jangan pesen terus, bahan makanan di kulkas jadi ngga kepake, mas." Protes Caca dengan sebal.

"Oke, masak yang simple aja. Ayo saya temenin." Amar beranjak untuk merengkuh Caca setelah ia menggendong Celyn, sedangkan Alan berjalan lebih dulu dengan riang.


🌻🌻🌻


Amar menutup pintu kamar dan mencium kening kedua anaknya yang sudah tertidur pulas. Ia merebahkan tubuhnya di samping sang istri yang tengah menatap dirinya sedari tadi.

"Ka Yerim belum pulang, mas?" Tanya Caca setelah posisi tidur mereka nyaman.

"Belum." Jawab Amar singkat dengan tangan kanan mengelus perut buncit Caca di balik baju tidurnya, sedangkan tangan kirinya dijadikan bantal oleh sang istri.

"Pulang jam berapa ka Yerim? Biar aku tunggu."

"Nggak perlu, dia udah gede, dia juga udah tau pin rumah."

Caca mengangguk, kembali manatap ke atap. Ia menikmati elusan di perutnya, sudah seminggu Amar tidak melakukan ini setiap malam.

"Besok mami sama papi mau ke sini, mas. Mami tadi telfon aku, sekalian mau bantu aku packing salinan untuk lahiran nanti."

"Besok?" Tanya Amar yang tidak jadi memejamkan natanya.

"Heum... Mas bisakan suruh ka Yerim tinggal di hotel? Buat beberapa hari aja, soalnya mami mau nginep juga." Jelas Caca.

"Hm, besok saya suruh dia ke hotel."

Caca mengangguk, kemudian kembali mengeluarkan suara. "Aku kemarin chatan sama dokter Rena."

"Hm."

"Mas jangan berhenti." Protes Caca saat elusan pada perutnya terhenti. Amar menurut kembali mengelus perut Caca, padahal matanya sudah sangat berat meminta untuk dipejamkan.

"Aku mau ngelahirin normal."

Amar membuka matanya dengan cepat. "Caesar aja, saya ngga mau ambil resiko."

"Tapi aku mau normal, aku udah konsul lagi sama dokter Rena. Katanya, aku bisa normal karena aku juga sehat."

"Tapi lahir normal resikonya besar, saya ngga mau anak saya kenapa-napa!" Tolak Amar dengan tegas dan suara pelan.

Binar di mata Caca memudar. Tangan Amar ia singkirkan dan ia jauhkan posisi tidurnya dari Amar.

"Selama ini yang mas khawatirin cuma anak mas ya." Ucap Caca dengan lirih, tubuhnya ia miringkan menghadap kedua anaknya.

"Aku cuma mau ngerasain pengorbanan seorang ibu yang sebenarnya. Aku pengen ngelahirin normal, karena ini pertamanya aku mengandung dan melahirkan di hidup aku." Setitik air mata perlahan turun membasahi pipi Caca, ia mengabaikan Amar yang memanggil namanya dan memaksa dirinya untuk menatap Amar.

"Aku ngantuk mas, jangan ganggu."

Setelahnya, tak ada suara memenuhi kamar. Hanya suara mesin ac dan jam yang terus berputar. Menyisakan Amar dengan pikiran berkecamuknya.

^^^

Duh mork lee

Yak sampai jumpa lagi di hari aku gak sibuk xixixi

Parfait ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang