Empat hari sudah Caca dan Amar berlibur. Setiap harinya selalu diisi dengan jalan-jalan romantis, entah pihak pria yang membuat wanita tersipu atau sebaliknya. Perlakuan yang tidak disadari mereka lakukan, membuat satu hati tumbuh semakin dalam, mencintai dengan penuh dan tulus, perlahan.
Pagi ini Caca terbangun di dalam pelukan Amar. Saat matanya terbuka yang terlihat pertama adalah dada bidang Amar. Perlahan, Caca melepas kedua tangan kekar Amar dari pinggangnya yang ternyata sudah bangun. Caca menatap Jam di nakas samping kasur yang sudah menujukkan angka delapan.
"Udah bangun?" Amar bersandar di headboard kasur, membawa Caca kembali direngkuhnya.
"Hari ini nggak jalan-jalan dulu gapapa, kan?" Tanya Amar yang mungkin sebagai perintah juga.
"Iya, pasti mas juga cape kalau setiap hari kita jalan-jalan."
"Hm, nggak."
Caca memejamkan mata, menikmati elusan di kepalanya. Amar yang melantunkan lirik lagu dengan suara lirihnya, membuat Caca semakin menyamankan diri dalam pelukan Amar.
"Tapi, nanti kita bisa makan malam di bawah kan mas? Aku pengen."
"Liat nanti ya."
"Kenapa? Kan dari kemarin kita nggak jadi terus. Sekarang kita ngga jalan-jalan, kita bisa makan di bawah, aku mau makan seafood."
"Liat nanti, Chantika." Ujar Amar menahan kesal. "Hari ini saya mau ngenalin kamu sama seseorang."
"Siapa?"
"Saya harap kamu bisa jaga sikap, yang sopan, jangan kekanakan."
Bukannya menjawab pertanyaan Caca, Amar justru memberi peringatan padanya, sesekali berdecak entah mengapa.
"Saya udah minta kasur tambahan di sini. Jangan banyak protes, karena nanti kenalan saya akan tidur sama kita. Dan tolong, jangan ganggu waktu saya kalau nanti dia datang."
Pertanyaan Caca pun belum terjawab, 'dia' yang dimaksud Amar itu siapa. Menebak-nebak orang yang dimaksud Amar membuat Caca pusing. Ia sudahkan ketermenungannya, memilih untuk bersiap untuk menyambut orang yang sedang Amar jemput.
Kasur tambahan untuk satu orangpun sudah tergeletak rapih di samping kasurnya dan Amar. Penginapan yang mereka sewa memang mempunyai satu kamar namun sangat luas jadi, tidak perlu takut karena sempit. Jika ingin menambah dua kasur lagi mungkin masih cukup.
🌻🌻🌻
Kebahagian tidak boleh terlalu larut dirasakan dengan berlebih. Akan ada dimana kebahagiaan diganti dengan realita yang menyakitkan. Itu yang dirasakan Caca, menyadari kenyataan bahwa dirinya hanya akan menjadi yang kedua di hati Amar, atau bahkan kenyataan bahwa dirinya tidak akan ada di hati Amar.Seorang wanita dengan rambut blonde yang sangat cantik berdiri dengan senyum manis di hadapan Caca, memperkenalkan diri sebagai Yerim dan kekasih hati Amar. Seperti disayat belati, hati Caca begitu sakit akan kenyataan tersebut.
"Beb, kamu duduk dulu, aku bawa barang kamu ke kamar dulu."
"Thank you, hon."
Wanita dengan paras bak putri kerajaan itu duduk di sofa ruang tamu, menarik lembut tangan Caca untuk ikut duduk di sampingnya.
"Waw, kamu sangat cantik kalau dilihat langsung!" Pekik Yerim dengan antusias. "Beruntungnya Mark dapat istri seperti kamu."
Caca menunduk, tersenyum kikuk atas ucapan Yerim. Yerim termasuk santai atau sangat santai untuk ukuran wanita yang akan ditinggal nikah oleh pasangannya sendiri.
"Tapi aku minta tolong ya, kerja samanya."
Ucapan lembut itu memaksa Caca untuk mengangkat wajah bertanya.
"Aku tau pasti kamu ngerti. Satu bayi laki-laki cukup untuk aku dan Mark." Lanjut Yerim yang semakin membuat Caca bertanya-tanya.
Otak Caca dipaksa untuk berpikir dan memproses semua perkataan Yerim. Ingatannya dibawa oleh perkataan Amar di awal pertemuan mereka. Pelan-pelan semua kebingungan terjawab, namun enggan untuk memberinya seluruh informasi.
"Beb, kamu mau istirahat dulu atau langsung jalan?" Amar datang dari arah kamar.
"Langsung aja yuk, aku tadi udah kebanyakan istirahat."
Kekehan Amar terdengar begitu nyaman. Tangannya menarik Yerim untuk dibawa ke dalam rengkuhan dan ciuman penuh cinta. Di hadapan Caca, mereka melakukannya tanpa memperdulikan bagaimana perasaan Caca saat ini.
"Let's have fun."
"Wait, kita ajak Caca." Tahan Yerim.
Amar menatap tak suka. "But now, it's time for both of us to be together."
"I'm still free tonight, Mark." Kekeh Yerim. "Caca, c'mon."
Caca yang sedari tadi hanya menonton, kini menatap Amar yang juga menatapnya. Ia dengan cepat menggeleng, menolak ajakan Yerim dengan halus.
"Why?!"
"Udahlah beb, ayo kita senang-senang berdua aja."
"Ck, oke."
Caca menatap kepergian sepasang kekasih itu, air matanya mulai turun membasahi pipi tembamnya. Mengapa Amar bisa melakukan hal ini padanya, apa yang Amar rencanakan atau apa yang Amar inginkan sebenarnya.
Pernikahan mereka sudah di depan mata dan Amar dengan teganya bersikap seperti itu dihadapan calon istrinya. Pernikahan bukan bahan lelucon yang bisa dipermainkan. Pernikahan itu sakral, sekali untuk seumur hidup.
Ini sudah tidak benar.
Caca menunggu kepulangan Amar dan Yerim. Hanya menunggu dengan memandangi pantai dari balkon, sesekali akan terisak mengingat ciuman yang dilakukan Amar dan Yerim.
Hingga suara pintu terbuka dengan tidak sabar, Caca melangkah membuka pintu kamar. Bisa ia lihat, Amar membopong Yerim yang sedikit tipsy. Meletakkan Yerim di atas kasur yang ia dan Amar tempati.
"Chantika, pesan makan malam buat saya."
"Iya." Jawab Caca dengan lirih.
"Oh, besok kayaknya jadi hari terakhir kita di sini. Yerim ikut kita pulang ke apartemen." Beritahu Amar, ia mendakat pada Caca yang mematung memegang gagang telepon. "Dan jangan coba buat ngomong ke orangtua saya tentang Yerim."
Caca mengangguk patah mendengar suara rendah memerintah itu. Kembali ia meneteskan air mata karena sesak yang ia rasakan tidak bisa ditahan. Ia bukan wanita kuat yang bisa menahan sakit dan tidak bisa terlihat tegar saat dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Nggak usah nangis." Amar menghapus setitik air mata di pipi kanan Caca. "Dari awal saya udah pernah bilang. Jangan berharap sama pernikahan ini, Chantika."
Amar menatap dalam kedua bola mata jernih yang mulai dilingkupi air mata, mengusap kedua mata itu dengan perlahan, mengikis jarak hingga bibirnya mendarat di kening Caca.
^^^
Maaf ya aku pake Yeri jadi pacarnya
Mark. Hampura 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Parfait ✔
Fiksi Penggemar●Markhyuck Dari awal, Caca memang sudah tidak yakin dengan keputusan orangtuanya. Kedua orangtuanya menerima lamaran dari teman lama ibunya tanpa persetujuannya. Bahkan saat melihat calon suaminya, Caca sudah tidak yakin. Apalagi, Caca mempunyai dua...