Senyum tipis Kenan melengkung saat melihat foto Alvin yang berada diatas nisannya. Akhirnya, Kenan sudah memasuki fase 'terbiasa' tanpa Alvin dikehidupannya. Dengan susah payah Kenan bangkit dan menata kembali fikirannya yang berantakan. Dia benar-benar mengikuti terapi psikologisnya secara teratur dan meminta Dokter Satria untuk menambahkan obat yang bisa melawan delusi serta gangguan tidurnya. Kenan yang sekarang adalah Kenan yang tidak bisa lepas dari obat-obatan itu. Kenan yang sekarang adalah Kenan yang kosong namun sudah terbiasa dengan kekosongan itu.
"Vin.." sapa Kenan dengan suara yang sangat lembut. "Apa kabar? Akhirnya aku punya keberanian lagi untuk menyapamu. Tadinya aku fikir aku bisa membawakan piala kemenangan atas kompetisi musik yang sangat kau impikan itu. Tapi kau memang benar, aku sangat payah dalam bermusik. Aku tidak sepandai dirimu. Lalu, hal yang bisa aku lakukan setelah kau pergi hanyalah menerima keadaan dan menjalani takdir dengan hati yang ringan. Semuanya sangat berat, Vin. Keinginan untuk menyusulmu masih ada dikepalaku sampai sekarang tapi kau pasti akan sangat kecewa jika aku benar-benar melakukannya"
Kenan mengusap pelan wajah Alvin seakan dia memang sedang mengusap wajah adiknya. Kenan tersenyum lagi, kali ini lebih melengkung dari sebelumnya.
"Kau memeluk Kak Kenan sebelum kau pergi, Vin. Tapi kau tidak memberikan kesempatan untuk Kak Kenan memelukmu. Tapi Kak Kenan bisa merasakan kau ada disetiap pergerakan Kak Kenan. Kehilanganmu bukan berarti hidup kakak berhenti. Kak Kenan juga masih bisa menjadi kakak yang baik untukmu dengan selalu tersenyum dan menerima kepergianmu. Itu keputusanmu kan, Vin? Kak Kenan juga tidak boleh egois. Kau sangat kesakitan saat itu dan akan sangat buruk jika Kak Kenan memaksamu untuk tetap bertahan. Itu namanya Kak Kenan menyakitimu dan Kak Kenan tidak ingin itu terjadi"
Kenan menghela nafas sejenak sambil mendongakkan kepalanya, "Tapi boleh kan kalau Kak Kenan merindukanmu, Vin? Kau juga pasti mengerti. Kita selalu bersama-sama dan tiba-tiba Tuhan memisahkan kita. Vin, kakak sangat merindukanmu, sungguh. Kak Kenan juga sangat ingin memelukmu. Jika kau merasakan hal yang sama, jangan lupa untuk datang dalam mimpi Kak Kenan dan memeluk Kak Kenan seperti dulu lagi"
Kenan akhirnya melangkah menjauh. Perlahan, ia meninggalkan tempat peristirahatan adiknya dan membawa kerinduan itu kembali ke rumah. Sebenarnya, Kenan termasuk orang yang sangat kuat karena disaat dia kehilangan orang yang dia sayangi, Kenan masih bisa mengendalikan diri. Mungkin, sesekali Kenan pernah melukai dirinya namun fikiran sehat Kenan masih bisa mengatakan bahwa itu bukanlah hal yang bagus yang dia bisa lakukan.
Alvin pergi demi Kenan, maka begitu juga sebaliknya, Kenan harus hidup demi Alvin. Meski kehidupan memang memuakan dan terkadang sebrengsek itu namun Kenan tetap harus bertahan demi adiknya tercinta. Kenan menarik sedikit lengan jaketnya dan tersenyum tipis kepada perban yang ada diatas pergelangan tangannya. Kemarin, Kenan yang sudah merasa tidka sanggup lagi akhirnya memutuskan untuk memotong arterinya sendiri. Kenan menghela nafas begitu berat lalu melanjutkan dialognya kepada Alvin.
"Kemarin, Kak Kenan hampir gagal untuk hidup, Vin. Tapi kau tau apa yang terjadi? Tuhan kembali menyelamatkan kakak. Ayah pulang lebih cepat dari biasanya dan langsung memberikan pertolongan. Ada dua bag tranfusi yang harus masuk dalam tubuh Kak Kenan. Selama itu pun kau sama sekali tidak menemui kakak dalam mimpi. Kau bisa sejahat itu ya, Vin?"
Kenan akhirnya tersenyum dengan pandangan yang sangat menyedihkan tertuju pada foto Alvin dengan senyuman cerianya. "Saat itu, yang membuat Kak Kenan merasa bersalah adalah melihat ayah yang sangat terpukul. Baginya kehilanganmu saja sudah sangat menyakitkan dan kakak harus sebodoh itu mencoba untuk membunuh diri kakak sendiri. Maafkan kakak, Vin. Ini adalah terakhir kalinya kakak melakukan kebodohan. Tapi tolong, ijinkan kakak bertemu denganmu lagi sekali saja, Vin"
Kenan tersenyum begitu tulus lalu mencium batu nisan Alvin seakan itu memang benar adiknya, "Kakak sangat merindukanmu, Vin" ucap Kenan pelan tanpa ada satupun yang mendengar.
***
Tengah malam Kenan terbangun untuk mengambil susu coklat kesukaannya. Kenan harus memaksakan diri untuk tetap tidur nyaman bagaimanapun caranya. Walau tidur pun sebenarnya mengingatkan dirinya kepada kematian Alvin. Kenan meminum susu coklat hangatnya perlahan. Baru beberapa teguk Kenan menikmatinya, dia sudah harus terkejut dengan sentuhan hangat dari seseorang yang sedang menggenggam lembut luka dilengan kirinya.
Kenan memperhatikan tangan yang bercahaya itu sejenak lalu ia harus semakin terkejut dengan sosok yang ada didepannya. Kenan semakin berfikir bahwa dia sudah gila. "Vin" panggil Kenan dengan suara yang sangat lemah dan tidak yakin.
Alvin tersenyum masam sambil menggeleng dengan tangan yang masih menggenggam luka pada lengan kiri kakaknya. Hatinya merasa sangat tercabik melihat Kenan yang sehancur ini. Namun waktu sudah tidak bisa lagi diputar, benak Alvin untuk kembali sudah ia usir jauh-jauh. Hanya tersisa keyakinan Alvin akan Kenan yang selalu kuat dan bisa melewati cobaan.
"Kakak tidak sekuat itu, Vin. Bayangkan hidup tanpa seseorang yang kakak sayangi, apa kau sendiri bisa melewati ini semua dengan sangat mudah? Kau hanya tersenyum dan meminta kakak untuk terus berdiri tanpa tau bagaimana rasa sakitnya" kesal Kenan dengan kesedihan yang sudah mendarah daging didalam dirinya.
Alvin ikut menangis. Air matanya turun satu persatu membasahi pipinya. Alvin juga semakin merasa bersalah namun takdir juga bukanlah kuasa mereka berdua. Baik Kenan atau Alvin sebenarnya tidak bisa merubah keadaan, mereka berdua tau bahwa ini adalah jalan terbaik yang diberikan Tuhan atas persaudaraan mereka walaupun sangat menyakitkan.
Alvin menghapus air mata yang ada dipipinya. Dia menggandeng Kenan dan membawa kakaknya untuk duduk didepan piano besar yang ada diruang keluarga. Alvin membuka beberapa lembar buku yang berisikan not-not lagu dan akhirnya menemukan apa yang ia cari. Lagu buatannya sendiri untuk Kenan. Alvin meminta Kenan untuk membaca setiap lirik dan iramanya. Setiap do, re, dan mi yang Kenan tau ingin Alvin mainkan sudah sejak lama namun adiknya itu tidak pernah memiliki kesempatan.
"Vin, kakak tidak bisa. Kau tau musik itu keahlianmu sejak lama. Lihat ini, kakak sudah pernah mencoba untuk bermain musik demi dirimu tapi yang kakak dapatkan adalah kekecewaan dan rasa sakit yang semakin dalam karena kamu sudah tiada" kata Kenan sambil menunjukan beberapa luka dan kemerahan yang ada disetiap sendi jemarinya.
Alvin menggenggam jemari Kenan sambil tetap menunduk. Dia tau kakaknya bisa, dia yakin Kenan bisa menemukan kembali tujuan hidupnya. Alvin mengangkat kepalanya dan menatap dalam mata elang milik kakaknya. Dia memberikan tatapan yang dalam namun penuh dengan kasih sayang, senyumannya sangat manis namun penuh dengan kesedihan.
"Jika Kak Kenan memainkan ini kau harus berjanji untuk selalu bersama kakak. Kau mengerti?", Alvin mengangguk lalu ia kembali memeluk Kenan dengan sangat-sangat erat seperti yang kakaknya minta. Kenan juga membalas pelukan itu dengan penuh kerinduan didalam hatinya.
"Terima kasih, Vin. Maaf jika kakak membuatmu kecewa kemarin. Kakak tidak bermaksud menyusulmu atau meninggalkan ayah. Mulai sekarang kakak berjanji akan selalu melindungimu dan akan membahagiakan ayah. Kakak janji akan menjadi sulung terkuat dan kakak terbaik untukmu asal kau tepati janjimu. Sering-seringlah menemui kakak seperti ini walaupun sebenarnya kakak juga takut kalau sekarang kakak sudah gila dan hanya berfantasi saja" pinta Kenan yang masih memeluk Alvin. Alvin juga hanya tersenyum bahagia. Inilah Kenan yang dia kenal. Setelah ini Kenan pasti akan menepati janjinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue and Grey // END
Fanfiction"Sampai bertemu lagi, Alvin. Kakak sangat merindukanmu" batin Kenan yang sampai saat ini masih menjerit dan terluka karena kepergian adiknya.