Part 8

2K 373 16
                                    


Laras adalah fokusku saat ini. Semalaman aku merasakan gelagat yang kurang baik. Ia merasa tidak mendapat tempat. Kalau aku membiarkannya ia pelan-pelan akan mundur terlebih gadis itu tidak memiliki perasaan lebih.

Bangun tidur sebuah rencana terlintas dalam benakku. Aku memikirkannya beberapa kali. Belum terlalu yakin, hanya saja kenapa tidak dicoba kalau ada kesempatan. 

Sarapan berdua dengan Laras membuatku senang. Obrolan mengalir begitu saja. 

"Bagaimana kondisi Bapak sebenarnya?" tanyaku.

Laras menarik napas panjang. Gadis itu langsung tampak murung. Ia menatapku sepintas lalu menunduk. 

"Bapak seharusnya kemoterapi, hanya saja kondisinya tidak baik bahkan cenderung menurun. Bapak pernah bilang kalau tidak kuat dengan semua ini. Kondisi setelah kemo tidak otomatis membawa kebaikan karena sel sehat pun ikut rusak. Beliau tidak pernah mengeluh, tapi aku bisa melihatnya bergulat dengan rasa sakit." 

Laras terdiam. Saat itu juga aku tahu kalau rencana ini harus berhasil. Andai Bapak meninggal, bisa jadi ia semakin punya alasan mundur, di sisi lain aku khawatir tidak ada yang akan menjaganya. 

Aku mengirimkan pesan pada Mama untuk mengundang seorang ustaz dan dua orang yang bisa menjadi saksi. 

[Buat apa? Jangan gegabah mengambil keputusan penting!]

[Mama mau bantu atau tidak. Aku bisa minta orang lain untuk urus.]

Sengaja aku menekankan hal itu agar Mama tahu kalau aku serius. 

[Kenapa tidak Zefanya saja? Setidaknya kita tahu latar belakang keluarganya?]

[Mama lebih suka aku menikah dengan pecandu narkoba? Wake up, Mam, Please!]

Lama ia tidak menjawab. 

[Baiklah, kalau itu mau kamu. Jam berapa?]

[Seperti yang semalam aku bilang, kita bertemu di rumah sakit sore]

Aku mengirimkan nomor kamar Bapak. Walau Mama menentang, tapi beliau tahu rencana ini penting dan harus berhasil. 

Aku tersenyum satu hal yang penting sudah tertangani. Next, membawa Laras membeli keperluan untuk pernikahan. Membeli cincin dan mengambil uang tunai sebagai mas kawin harus aku persiapkan. 

Masuk ke toko perhiasan sudah membuat Laras gugup. Ia berusaha menolak hingga aku harus berbohong kalau kami hanya akan mengukur cincin. Baru, ia tampak rileks. Beberapa cincin yang sesuai dengan ukuran jarinya dipajang. Aku memperhatikan cincin mana yang paling ia suka. Laras memperhatikan cincin blue sapphire dengan hiasan berlian saksama. Sengaja aku menunjuk cincin yang berbeda. 

Memasangkan cincin ke jari manis sebetulnya membuat perasaanku bergetar. Gadis ini sebentar lagi akan sah menjadi pasanganku. Laras menatap jarinya dengan takjub. Tidak lama kemudian ia melepasnya. Embusan napasnya yang tertahan bisa aku simpulkan kalau ia merasa lega. 

Saat keluar dari toko, aku menggandengnya. Tangannya masih terasa dingin. 

"Gugup?" tanyaku.

Gadis itu mengangguk. 

"Sama aku juga," jawabku menenangkannya. 

"Tidak mungkin," katanya seraya mencibir.

"Tentu saja, bagaimanapun aku manusia biasa." 

Laras tersenyum.

"Syukurlah kamu masih manusia. Sebaiknya kalau Abang berniat membelikan , aku minta cincin polos yang tidak berat," ucapnya membuatku terkejut. 

My BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang