part 10

1.9K 371 22
                                    

Aku tidak bisa menjauhkan tangan ini dari Laras. Baru kali ini ada perempuan yang membuatku merasa seperti ini. Kembali mencium bibirnya seakan menjadi candu. Aku enggan melepasnya. 

Gadis cantik itu terengah saat ciuman kami berakhir. Sungguh ia tampak begitu seksi. Sengaja saat pintu di ketuk aku tidak melepaskannya. Di satu sisi memang aku tidak mau, di sisi lain agar siapapun itu menjadi saksi kalau hubungan kami memang nyata. Hal itu perlu aku embuskan agar sandiwara ini berhasil. 

Makan malam dengan kehadiran Marisa melengkapi segalanya. Kehadiran Mario membuatku bahagia. Baru kali ini benakku sesaat berpikir untuk memiliki anak sendiri. Ah, pikiranku mulai melantur.

Kehadiran Laras dan membiasakan diri dengan menyebutnya sebagai istri membuat otakku mulai tidak beres. 

Sikap Mama yang masih belum mau membuka diri pada Laras pun membuatku menaruh perhatian. Memposisikan diri membela Laras, tapi tetap menjaga perasaan Mama cukup sulit aku lakukan. Kalau keduanya tidak bisa akur maka aku harus membawa Laras pindah. Aku tidak ingin keduanya saling menyakiti. Hal itu akan aku putuskan setelah kembali nanti.

Acara makan malam dengan formasi lengkap ini harus aku apresiasi karena jarang terjadi. Mungkin perlu dijadwalkan agar kami bertemu lebih sering. Perkembangan Mario yang begitu pesat membuatku ketinggalan banyak hal. 

Kedatangan Arman tiba-tiba sebenarnya membuatku senang dan merasa komplet. Hanya saja pria temannya cukup mengusik perasaanku. Ia menatap Laras terang-terangan saat berjalan masuk. Aku tahu Laras memang sangat cantik, wajar orang menatapnya. Namun, pria itu seolah kenal dengan Laras.

"Vano," kata Arman membuatku terkejut. 

Apa pria ini mantan pacar Laras? Aku berusaha tenang. 

"Ini istri saya, Laras." 

Aku sengaja mengatakan itu karena ingin memberikan peringatan. Laras bukan lagi kekasihnya. Rupanya itu langsung memancing amarah Arman. 
Aku tahu ia marah bukan soal warisan saja, tapi karena merasa dijauhi dan ditinggalkan. 

Pancingan soal Zefanya membuatku terpancing. Aku tidak ingin Laras salah sangka. Entah mengapa, aku merasa takut 'kehilangan' Laras. Senyum Arman yang mencemoohnya membuatku lepas kendali. 

Ketika Laras berdiri dan memeluk. Amarah itu menguap begitu saja. "Ada Mario," bisiknya.

Aku pun memeluknya. Hati ini merasa nyaman. Laras begitu perhatian. Ia mungkin lupa ada Vano di sana. Baguslah, aku tidak menyukai pria itu. Gadis ini membuatku merasa di atas angin. 

***
Masuk ke kamar. Laras tidak mengatakan apa pun. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Vano? Aku benci nama itu. 

"Sayang," ucapku pelan. 

"Iya," jawabnya seraya menoleh. 

"Kemarilah, aku masih menginginkan pelukan," rayuku agar Laras mendekat. 

"Aku rasa hari ini sudah terlalu banyak pelukan dan ciuman," jawabnya tampak menghindar. 

"Karena Vano?" tebakku menahan kesal. 

"Vano?" 

"Iya, kamu enggan karena Vano, kan?"

"Ada-ada saja," jawabnya mengelak. 

"Jujur saja, aku bisa terima, kok," ujarku sok tenang. 

"Bukan. Hanya saja terlalu banyak kejadian dalam satu hari," jawabnya seraya duduk di sofa panjang sebelah pintu balkon. 

"Kamu menyesal?" tanyaku hati-hati. 

Aku sebenarnya tidak peduli ia menyesal atau tidak karena yang terpenting aku sudah mengikatnya dalam pernikahan. Ia tidak akan aku biarkan mundur begitu saja. 

My BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang