part 16

1.8K 385 26
                                    


Penerbangan panjang Jakarta tujuan London memakan waktu lebih dari empat belas jam. Andai Laras ada mungkin akan beda ceritanya. Di perjalanan ini aku lebih banyak tidur. Makanan mewah yang disediakan untuk kelas bisnis dan eksekutif tidak terlalu menarik. Padahal sebelum penerbangan aku jelas meminta lobster dan steak. Tiba di bandara, langsung ke hotel. 

Retha dan seorang teknisi ahli yang ikut tampak antusias. Keduanya berulang kali membahas soal tempat wisata yang mungkin akan dikunjungi. Bagiku sendiri London adalah kota yang tidak terlalu menarik, mungkin bagi pecinta bangunan bersejarah, tempat-tempat yang bernilai seni, kota London adalah surganya. 

"Pak Danen kita foto dulu, yuk," ajak Retha untuk selfie. 

Belum sempat menolak ia sudah berdiri di depanku dan memotret. Terpaksa aku tersenyum walau enggan. 

"Setelah ini aku mungkin akan tidur dan tidak ingin diganggu," kataku saat taksi berhenti di depan hotel. 

"Pak Danen, tidak ingin jalan-jalan? Saya ingin melihat Big Ben, London Eye, dan masih banyak lagi." 

"Sudah pernah dan saya kurang bisa menikmatinya. Kamu bisa minta Pak Damar menemani. Masih ada waktu sebelum kita mulai ke head office dan sibuk untuk witness pengujian alat." 

"Biasanya, Bapak menyukai hangout. Kalau malas jalan-jalan bagaimana kalau kita ke bar?" 

Aku menatap gadis itu dengan enggan. Dulu waktu ke Singapura memang aku masih party lovers yang suka hangout. Hanya saja London berbeda. Cuacanya sebelas sampai empat belas derajat di malam hari. Angin berhembus kencang dan langit jarang cerah. Hujan intensitas ringan pun kerap mewarnai hari. Apa enaknya kalau pulang hangout, setengah mabuk dan kehujanan? 

"Kalau kamu mau pergi ajak Pak Damar. Mungkin kalian bisa menikmati suasana baru bersama, tapi jangan paksa saya ikut." 

Perempuan itu akhirnya terdiam, kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Bersyukur aku bukan tipe pria yang mudah jatuh iba hanya karena air mata. 

Pak Damar menepuk-nepuk pundak Retha seakan hendak menghiburnya. Sikap Retha cukup aneh buatku. Gadis itu biasanya disiplin dan profesional. Kenapa sekarang jadi begini?

Aku memilih masuk dan check in. Menerima kunci kamar dan langsung naik untuk istirahat. Membayangkan percakapan dengan Laras saja yang membuatku bersemangat. Aku berusaha menghubungi, tapi ponselnya mati. 

Tidak sabar aku segera masuk kamar untuk menelepon Pak Bin. Pria itu segera mengangkatnya. 

"Dimana Laras?" 

"Saya belum ketemu Pak. Kemarin  saya menemani Ibu berbelanja sampai malam." 

"Kenapa bisa jadi menemani Mama? Perintah saya kurang jelas?" 

"Jelas Pak tapi Mbak Laras yang minta saya temani Ibu." 

"Sekarang cari Laras! Saya tidak mau tahu. Yang jelas kemungkinan besar ia ke rumah sakit." 

"Iya Pak, siap."

"Saya atasan yang memperhatikan karyawan dengan baik. Tentu mengharapkan imbal balik yang sepadan. Paham, kan?" 

"Iya Pak." 

"Sekarang kamu coba tanya orang rumah. Siapa tahu ada yang punya info," kataku seraya menutup sambungan. 

Aneh tidak ada yang tahu tepatnya dimana Laras berada, pikiran buruk terus membayangi. Bagaimana kalau Laras diculik atau mengalami kecelakaan? Aku mulai panik dan menelpon satu per satu orang rumah termasuk Mama. Tetap saja tidak ada jawaban. Dari sekalian banyak orang tidak satu pun tahu keberadaan Laras. Aku tidak bisa menahan emosi lagi.

My BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang