part 18

2K 413 30
                                    


Apa yang terjadi semalam, membuat perasaanku malah semakin dalam untuk Laras. Ada ikatan yang terjalin yang tidak bisa aku ungkapkan. Seharusnya aku tidak tergoda dengan tatapan gadis polos itu, apalagi tahu kalau tidak membawa pengaman. Namun, membayangkan Laras hamil malah membuatku semakin gila. 

Aku ingin punya anak? Mimpi pun tidak, tapi dengan Laras semua berbeda. Aku menginginkan segala yang ada pada dirinya. 

"Mau sarapan di kamar atau di restoran?" tanyaku setelah berhasil menahannya di tempat tidur sekali lagi. 

"Aku ingin tidur saja," katanya sambil tertawa. 

"Tidurlah. Biar aku yang ke rumah sakit. Nanti siang aku bangunin,  kita check out untuk pulang. Aku ingin melihat persiapan apa saja yang sudah selesai," kataku seraya mengelus kepalanya. 

Wajah Laras berhenti tersenyum. Ia menarik selimut dan berjalan ke kamar mandi. 

"Ras? Ada apa?" 

"Tidak ada apa-apa. Aku harus merapikan koper kalau ingin ke rumah. Itu mungkin akan makan waktu," jawabnya dari balik pintu kamar mandi. 

"Memang bawa koper besar?" tanyaku heran. 

"Iya," jawabnya singkat. 

Aku terdiam. Apa semua baju ia bawa? Aku menatap koper yang ia bawa dari rumahnya. Mungkin Laras sekadar berjaga-jaga karena ia belum tahu kapan kondisi Bapak bisa membaik. 

Laras keluar kamar mandi dengan rambut basah dan bathrobe membungkus tubuhnya. Pikiranku sudah ke mana-mana. Istriku sangat seksi. 

"Kalau kamu memakai baju seperti itu terus, aku rasa kita bisa punya kesebelasan," kataku sambil terus memperhatikan gerak-geriknya. 

Laras langsung terbahak. Aku menghampiri dan memeluknya. Saat aku menyentuh tali pengait untuk membuka bathrobe-nya Laras segera memukul tanganku pelan. 

"Ih, malu!"

"Malu? Tadi aku sudah lihat semua," kataku seraya mencolek pipinya yang memerah. 

Laras langsung merapatkan bajunya. Aku gemas melihat kelakuannya.

"Bagaimana kalau Abang yang ke rumah? Aku ke rumah sakit?" tawarnya seraya menyalakan hair dryer. 

"Aku mau kita sama-sama," kataku menolak keinginannya. 

"Bukannya Abang ingin orang mengira hubungan kita sedang tidak baik?" tanya Laras 

"Setelah semalam, aku rasa kita tidak perlu seperti itu. Biar saja mereka tahu kalau rencana kita tetap berjalan. Aku akan menjagamu." 

Laras menatapku tanpa kata. Ia tidak membantahnya. Bagaimana bisa berpura-pura kalau saat ini saja aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya? Laras kembali ke kamar mandi untuk berganti baju.

"Aneh, tidak?" tanyanya saat keluar memakai celana panjang dan blus. 

Aku menggeleng. 

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Agak nyeri. Khawatir orang melihatnya aneh," bisiknya. 

"Mau aku gendong?" tawarku sungguh-sungguh. 

Laras menatapku dengan tidak percaya. 

"Aku mandi dulu ya. Nanti, kita makan di bawah saja. Pak Bin, sudah aku telepon untuk mengambil koper-koper kita." 

Istriku pun mengangguk. 

*** 
Kondisi Bapak sangat berbeda dibandingkan saat terakhir kami bertemu. Alat bantu pernapasan, dan beberapa alat yang terpasang seolah menjadi saksi bisu bagaimana ia bertahan melawan penyakitnya. Laras mengelus lembut tangan Bapak. 

My BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang