Part 12

1.7K 372 17
                                    


Aku merasa aneh saat Laras menemukan lipstik di bawah jok. Padahal seingatku Retha tidak membuka tasnya sepanjang perjalanan dari mobil sampai ke halte. Apakah milik orang lain? Aku rasa juga tidak mungkin karena mobil ini selama berbulan-bulan baru Laras dan Retha yang masuk. Apa pun alasannya aku akan menegurnya. Aku tidak ingin Laras mengira aku berbuat yang aneh-aneh. 

Gadis itu terlihat santai saat menemukannya. Sebenarnya aku ingin melihat ia marah atau melemparkan pertanyaan curiga. Namun, datar saja. Malah ia bercanda dengan hal tersebut. Enak saja, aku disangka suka memakai pewarna bibir itu. 

Sejauh ini aku menyukai cara pikir dan sikap Laras. Hal ini nyaris tidak pernah aku temukan pada gadis lainnya. Ia bahkan belum menggunakan kartu atm yang aku berikan. Bukan karena aku pelit, tapi aku suka mengamati pengeluaran dari print out list belanjaannya. Apakah ia menyukai tas, sepatu atau baju dengan merek tertentu. Jadi bila ia berulang tahun aku bisa membelikan kado sesuai dengan seleranya. Aku belum bisa menebaknya sampai sekarang.

Sampai di rumah, disambut Mario, membuatku merasa bahagia. Namun, sikap Laras yang penuh perhatian padanya langsung membuatku cemburu. Bagaimana tidak, Laras dengan gampang memanggilnya sayang, dan memberikan ciuman. Ia bahkan belum pernah sekalipun menciumku. Selalu aku yang berinisiatif. Masa, sih aku kalah dengan bocah tiga tahun. 

Andai saja aku lebih cepat mendaftar ke Madam Rose mungkin saat ini aku bisa mengajaknya ikut dalam perjalanan dinas. Tentu saja bukan perjalanan honeymoon, tapi setidaknya aku tidak terpisah jauh darinya. 

Apalagi dengan kemunculan Vano, bagaimana kalau Laras memilih untuk kembali padanya. Ini benar-benar menyebalkan. Mungkin nanti aku harus meminta Mama agar membuat Laras sibuk dengan persiapan resepsi. Setidaknya memperkecil peluang Laras bertemu dengan Vano. 

Pria itu cukup tampan dan tatapan matanya yang tidak lepas dari Laras semalam telah menyadarkanku kalau ada rival yang harus aku hadapi. Sandiwara ini tidak boleh gagal. Apabila ingin sandiwara ini berhasil maka aku harus meyakinkan dalam menjalankan peran. 

***
Masuk ke kamar berdua dengan Laras membuatku tidak dapat menghentikan keisengan. Aku segera menarik tubuhnya dalam pelukan. Tumben gadis ini tidak protes. Aku mengecup lembut kepalanya. Wangi rambutnya aku hirup cukup lama. 

"Kamu tidak protes?" tanyaku tanpa melepaskan dekapan.

"Kalau protes, Abang akan terus memaksa dan aku pasti kalah debat." 

Aku langsung tertawa. Gadis ini mulai bisa membaca pikiranku. 

"Aku mau mandi, boleh dilepaskan pelukannya?" 

"Sebentar lagi," kataku belum mau jauh darinya. 

Laras mendongakan kepalanya. Matanya menyiratkan protes, tapi aku tidak peduli. Bibirnya langsung aku kecup agar ia tidak protes. 

"Sepertinya, Abang berbakat menjadi seorang aktor," ucapnya seraya mengusapkan jemari ke bibirnya. 

Aku kembali tertawa dan melepaskan pelukan. 

"Lain kali kamu tidak boleh lagi menghapus jejak ciumanku. Aku pun harus terus belajar untuk tampil meyakinkan begitu juga dirimu," ujarku seraya terus memperhatikan gerak-gerik Laras. 

"You've deserve an oscar," sahutnya seraya berjalan menjauh. 

Ia menghampiri kopernya lalu menariknya ke sofa. 

"Kamu bisa masukan ke walking closet, Ras. Jadi tidak perlu lagi menarik-narik koper," kataku seraya duduk di tepi ranjang. 

Gadis itu menatapku dan tertawa. 

"Aku rasa itu tidak perlu. Pertama,karena aku tidak tahu berapa lama kita menjalankan ini. Kedua, bajuku tidak banyak. Alasan terakhir bajuku hanya akan merusak pemandangan rapi di sana." 

My BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang