part 14

1.7K 399 41
                                    


Aku pulang ke rumah Pak Danen untuk mengambil baju ganti dan berencana tidur di rumah sakit. Kondisi rumahnya saat siang memang sepi. Mario tidur siang, sedangkan Mama sibuk di luar rumah. Aku tidak tahu apa aktivitasnya dan sungkan untuk bertanya, apalagi beliau dengan jelas menginginkan agar kami menjaga jarak. 

Pak Bin menolak untuk masuk. 

"Kalau tidak lama, saya mending menunggu di dalam mobil saja, Mbak," ucapnya sambil tersenyum. 

"Masuk saja, Pak. Istirahat dulu. Dari pagi sudah menemani pasti sekarang lelah," bujukku untuk kesekian kali. 

"Memang tugas saya, Mbak. Jangan khawatir," tolaknya. 

"Kalau begitu saya masuk dulu," pamitku. 

Aku mengucapkan salam dan membuka pintu depan. Alangkah terkejutnya melihat Mama ternyata sedang menerima tamu. 

"Ma," sapaku berusaha ramah.

"Dari mana?" tanyanya saat aku menghampiri hendak mencium tangannya. 

"Rumah sakit," jawabku singkat. 

"Duduk dulu," ucapnya dingin. 

Aku agak terkejut saat tahu siapa tamunya. Seorang model papan atas sedang duduk dengan elegan. Tatapannya seolah menilai penampilanku dari ujung rambut ke ujung kaki. Zefanya menaikkan alisnya seolah mencatat kekuranganku. 

"Kenalkan ini Zefa. Pasti kamu sering melihatnya di majalah," puji Mama. 

Aku tersenyum dan mengangguk.

"La …." Belum sempat aku menyebutkan namaku, Mama langsung memotongnya. 

"Ras, kamu kan sibuk ngurus bapakmu di rumah sakit, sedangkan persiapan resepsi harus terus berjalan. Kamu tentu tidak keberatan kalau Mama yang akan mempersiapkan semuanya. Takut kita beda selera dan buang-buang waktu untuk berdebat." 

Aku terdiam mencerna setiap kata yang keluar dari bibirnya. Jelas ia tidak ingin aku terlibat pada resepsi pernikahanku sendiri. Beruntung ini hanya sandiwara, jadi aku tidak perlu membawanya dalam hati. 

Zefanya tampak tersenyum merendahkan. Aku memilih membalas senyumannya. Selera Pak Danen memang seharusnya seperti Zefanya. Trendi, kulitnya putih mulus tanpa cela, dan mempesona. Bohong kalau aku tidak merasa terintimidasi. 

"Silakan, Ma. Terima kasih sudah paham akan kondisi Bapak," jawabku jujur. 

Aku dari semula memang tidak ingin ada resepsi dan keribetan yang menyertainya. Bila dipaksakan untuk ada, aku harus terima. 

"Bagus. Tidak perlu kamu menceritakan hal ini pada Danen," ucapnya dengan halus, tapi menyiratkan ancaman. 

"Oh itu. Tentu saja tidak," jawabku cepat. 

"Tan, aku mau tambah minum, ya," kata Zefanya seraya berdiri. 

Ia pun melangkah dengan anggun setelah melihat Mama mengangguk. 

"Ras, selama Danen pergi, sebaiknya kamu pindah ke kamar belakang. Khawatir kamu memindah barang-barang Danen yang penting, nanti jadi repot mencarinya," ucapnya sambil tersenyum.

Ada luka ia torehkan melalui kata-katanya. Apa ia menuduhku akan mencuri barang Pak Danen? 

"Saya mungkin akan tidur di rumah sakit. Entah sampai kapan. Jadi Mama, tidak perlu khawatir," jawabku sambil tersenyum.

Aku harus menebalkan muka dan menutup mata akan ucapannya. Perempuan itu tahu pernikahan ini demi warisan, tapi ia seolah mengarahkanku untuk mundur. 

My BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang