05 || LAIN

344 54 15
                                    

Azan shubuh berkumandang merdu membuat seorang gadis berwajah ayu terbangun dari tidurnya. Menyingkap selimut yang menghangatkan raga, lebih memilih berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, bersiap menunaikan shalat shubuh bersama keluarganya.

Selepas wudhu, ia berjalan menenteng mukena ke tempat mushala kecil di dalam rumahnya. Sedikit terkejut ketika mendapati ayahnya sedang duduk di atas sajadah, sibuk berzikir. Kepalanya menengok ke luar, menatap seorang wanita paruh baya yang hendak berjibaku di dapur.

Ia menebak kalau wanita paruh baya yang merupakan ibundanya itu pasti sedang datang bulan, karena tidak ikut menunaikan shalat shubuh.

"Viana," panggil sang ayah membuat gadis itu tersentak kaget, yang sejurus kemudian menatap ayahnya.

"Iya, Yah?"

"Bagaimana kabar dia?"

Viana tertegun, meski ini bukan yang pertama kalinya sang ayah menanyakan kabar kakak kelasnya itu. Namun, tetap saja ada rasa bingung, terlebih ketika sang ayah meminta menuliskan motto TNI AL ke kertas yang kemudian diselipkan ke topi yang dipinjamkan oleh dia.

"Kayaknya alhamdulillah, dia baik-baik aja. Memang kenapa, Yah? Kok Ayah tanya kabar dia terus? Ayah kenal dia?" tanya Viana sembari mengambil posisi duduk di belakang ayahnya, bersiap menunggu shalat berjamaah.

Kedua sudut bibir ayahnya terangkat, terukir senyuman sendu yang sangat menyayat. Ketika matanya terpejam, teriakan itu terdengar jelas di telinganya membuat hatinya bergetar hebat, merasakan kesedihan yang amat mendalam.

"Komandan!" teriaknya, hendak berlari mendekat, tetapi dihentikan oleh Rehan.

"Pergi dari sini!" Rehan memandang musuh yang mulai berdatangan dari arah depan, lalu kembali menatap anak buahnya yang ikut tertinggal bersamanya. "Helikopter sudah sampai! Biar saya yang menangkal serangan musuh!"

"Tidak! Izinkan saya ikut, Komandan!"

"Saya adalah komandanmu! Turuti apa perintah saya! Cepat pergi!" perintah Rehan.

"Tapi, Komandan ...." Ian menghentikan larinya untuk mendekat ke posisi sang komandan, air matanya mulai banjir.

"Fahreza."

"Apa maksud Komandan?" teriak Ian.

"Sampaikan pada istri saya untuk memberi nama Fahreza pada anak saya nanti!"

"Ayah?!" Viana mendekat ke posisi sang ayah ketika pria paruh baya itu diam dengan kepala tertunduk. "Ayah kenapa? Ayah mikirin temen ayah yang gugur itu? Sudah, jangan dipikirin. Viana takut Ayah sakit lagi karena banyak pikiran."

Sang ayah menoleh, menyunggingkan senyuman bahwa ia baik-baik saja. "Tidak apa, Nak."

"Ayah jangan seperti itu." Bening kristal mulai menggenang di pelupuk mata. "Viana nggak mau kalau ayah sakit lagi. Sudah, Yah. Temen ayah sudah tenang di sana, jangan dipikirin lagi."

"Kenapa, Na?" Suara ibu tiba-tiba menyahut, membuat keduanya menoleh ke ambang pintu mushala kecil, di mana wanita paruh baya sedang menatap mereka dengan ekspresi cemas.

"Ayah, Bu. Keinget itu lagi," adu Viana.

Sang ibu menghela napas panjang, seolah sudah terbiasa dengan hal ini. "Astaghfirullah. Mas, mas. Mau sampai kapan kepikiran terus? Mbok ya, sudah. Kirim doa saja, jangan terlalu dipikirkan. Nanti kesehatan drop lagi, siapa yang repot? Aku sama anak-anak. Ikhlaskan, ya?"

Ayah mengangguk. "Insyaallah, Bu." Kemudian menatap anak gadisnya. "Ayo, sholat."

Viana hanya bisa mengangguk, berdiri di shaf belakang, bersiap menunaikan shalat shubuh berjamaah dengan ayahnya. Sampai sekarang, ia belum tahu siapa teman ayahnya yang gugur itu, dan ketika sang ayah mengingatnya pasti akan seperti tadi. Dan juga ada hubungan apa dengan kakak kelasnya, kenapa sang ayah terlalu over tentang pemuda berjambul piramid itu.

Mengabdi (Bukan) Mimpinya [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang