10 || DEBAT

296 58 20
                                    

"Reza! Bangun, Nak. Sudah jam tujuh. Katanya mau ikut Pamanmu ke Jogja? Jarak dari sini ke Jogja itu lumayan jauh, jadi cepet siap-siap, ya?" tanya Nindy dari luar sembari sesekali mengetuk pintu kamar Reza yang masih tertutup rapat.

Sudah hampir tiga kali ia mengetuk pintu kamar keponakannya tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya ia pun kembali ke ruang makan dengan ekspresi wajah yang tak dapat diartikan.

"Bang Reza belum bangun, Bu?" tanya Afsah, menatap ibunya dengan pipi yang kemudian menggembung karena Farhan menyuapi sesendok makanan ke dalam mulutnya.

Nindy tersenyum. "Belum, paling Bang Reza masih sibuk berpakaian."

"Sejak shubuh dia tidak keluar, sampai sekarang dia belum keluar?" sahut Farhan heran.

"Nah, itu masalahnya."

"Kamu lanjut suapi Afsah, biar aku cek ke kamar Reza," ucap Farhan sembari berdiri. Meletakkan sendok ke atas meja, kemudian berlalu cepat menuju kamar sang keponakan dengan perasaan sedikit cemas.

Tok ... tok ... tok!

"Reza?" Pintu kamar sedikit diketuk dengan keras.

Tok ... tok ... tok!

"Reza? Buka pintunya atau Paman dobrak?!" Akhirnya dengan terpaksa Farhan mendobrak pintu kamar Reza dan terpampanglah isi kamar yang rapih, begitu juga dengan jendela yang sudah dibuka.

Mengecek lemari dan kolong tempat tidur yang ternyata kosong, mungkin dikira Reza bersembunyi di situ. Berusaha melihat ke sekeliling yang siapa tahu ada surat ditinggalkan dan ternyata tidak ada.

Berlalu cepat keluar dari kamar Reza dan mengecek seluruh ruangan di rumah, tetapi Reza tak ada sama sekali. Farhan pun berdiri bingung di ruang tamu, memegang dagunya sembari berpikir keras; menerka ke mana keponakannya pergi dan kapan perginya sampai ia pun tidak tahu.

"Ada apa, Yah?" tanya Nindy yang keluar dari ruang keluarga dan kaget melihat suaminya sedang berpikir keras.

"Ayah kenapa?" Afsah yang berada di gendongannya pun turut bertanya.

Farhan menoleh, kepalanya menggeleng perlahan. "Reza tidak ada."

"Apa?!" Nindy memekik terkejut.

"Iya, benar. Kamu tahu dia pergi kapan?"

Nindy menggeleng cepat. "Aku malah tidak tahu dia pergi."

"Hah. Astaghfirullah!" Farhan menghembuskan napas kasar. "Pasti dia pergi ketika kita tidur malam hari, iya, aku yakin itu! Akan kusuruh Awan dan beberapa temannya untuk mencari Reza! Anak tidak tahu diri, membuat khawatir orang!" ujar Farhan yang hendak berlalu keluar dari rumah, tetapi pergelangan tangannya ditahan oleh Nindy.

Otomatis ia menoleh, menatap istrinya dengan ekspresi tak paham.

"Afsah main di luar dulu, ya? Ibu mau ngomong sama ayah," ujar Nindy pada anaknya.

Afsah mengangguk paham. "Rahasia negara, ya, Bu?" cicitnya lucu.

Nindy mengangguk dengan senyuman hangat terukir di wajahnya. Kemudian mengecup pipi anaknya singkat. "Iya, rahasia negara. Afsah main di luar, ya? Biar rahasia negaranya tidak didengar orang lain di luar sana. Oke? Nanti Ibu nyusul."

"Oke! Perintah dilaksanakan, Komandan!" sahut Afsah, lalu turun dari gendongan ibunya dan berlari kecil ke teras depan rumah sambil membawa boneka beruang kecil kesayangannya.

"Rahasia negara, rahasia negara!" seru Afsah berkali-kali.

Setelah anaknya keluar ke rumah, barulah Nindy melepas pegangan tangannya pada Farhan. Ditatapnya sang suami dengan sorot mata yang tak dapat diartikan. "Kamu tahu, Mas, apa sifat terburukmu?"

Mengabdi (Bukan) Mimpinya [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang