Dengan seragam abu-abu putih lengkap beserta tas gendongnya, Reza mulai memasuki sekolah di mana ia menuntut ilmu, yakni SMA 01 Jaya Bangsa. Sekolah yang masuk ke standar internasional, tetapi bukan sekolahnya anak konglomerat. Jadi jangan takut bila ada penindasan dari siswa yang berasal dari keluarga berharta dan berjabatan. Memang tidak semua siswa 'kaya' selalu menindas, tetapi hampir sebagian dari pelaku tindak perundungan di bangku sekolah berasal dari siswa 'berduit'. So, jangan merasa tersinggung, karena ini 'kenyataan'.
Dengan santai Reza berjalan menuju ke kelasnya, jangan lupakan jambul piramidnya yang sudah dirapihkan dengan ala sempongan ke kanan, bertindak seolah siswa rajin.
Hampir seluruh siswa tidak mengetahui identitas Reza, maksudnya dalam lingkup keluarga Reza; kecuali Ganang, sahabat karib Reza. Karena Reza terlalu tertutup bila membahas keluarga, terutama sosok ayahnya. Teman-teman Reza hanya mengetahui bahwa Reza adalah sosok yatim piatu yang tinggal bersama walinya, bukan sosok pemuda yang silsilah keluarganya abdinegara semua.
"Permisi!" Reza menoleh tatkala seorang siswi berjilbab mensejajari langkahnya, seketika ia berhenti di saat menatap wajah meneduhkan itu.
Siswi tersebut ikut berhenti, sedikit menjaga jarak dan tentu terus menundukkan pandangan. "Assalamu'alaikum. Benar dengan Kak Reza?"
Reza terhenyak kaget, baru kali ini siswi tersebut berani menyapanya. Siswi yang terkenal dengan kecerdasan dan keshalihahannya, yang Reza sendiri pun akan merasa segan bila berpapasan dengan dirinya.
"Wa'alaikussalam. Iya, saya sendiri Fahreza Brawijaya. Ada yang bisa dibantu? Kalau boleh tahu saya berbicara dengan siapa?" tanya Reza pura-pura tidak kenal, padahal ia sangat mengenal betul adik kelas di hadapannya ini karena pernah tergabung dalam satu organisasi keagamaan.
"Aku Viana, Kak. Mmm ... kata temenku, Kakak suka jualan berbagai macam barang. Kalau boleh tahu, Kakak jualan topi OSIS tidak?"
Reza tertegun. "Topi OSIS? Buat apa? Itukan di koperasi sekolah juga ada."
Viana semakin menunduk. "Anu itu, Kak. Topiku kebintal, juga koperasi sekolah belum dibuka padahal sebentar lagi upacara akan dimulai, katanya guru penjaga koperasinya sedang ada halangan untuk berangkat. Gimana, Kak? Kakak ada topinya enggak?"
Bimbang, itulah yang Reza rasakan. Ia sama sekali tidak mempunyai persediaan barang sekolah seperti topi, dasi, dan sabuk. Ingin berkata tidak punya, ia tak tega bila nanti melihat Viana dihukum. Terlebih, ini adalah rekor pertama bagi dirinya karena siswi pendiam itu mau menyapa dan mengobrol dengannya.
"Gimana, Kak?" Viana semakin gelisah.
"Eh." Reza tersadar dari lamunannya. "Jadi gini, Vi. Saya tidak punya persediaan topi sekolah." Seketika Viana tersentak dan menatap Reza, tetapi kembali menunduk.
"Tapi kamu tenang saja, saya bawa topi OSIS dua. Bagaimana? Mau pakai punya saya?"
"Memang boleh, Kak?"
"Boleh banget." Reza mengambil topi OSIS-nya yang berada di dalam tas, padahal ia hanya mempunyai satu saja, tetapi daripada Viana yang dihukum di bawah terik matahari, lebih baik ia yang dihukum.
"Nih, pakai saja punya saya. Tenang, ini topi habis dicuci bersih pake pewangi dua sachet. Dijamin halal." Menyodorkan topi itu kepada Viana.
Viana menerima dengan senyuman kecil di wajahnya. "Terima kasih, Kak. Nanti topinya aku cuci dulu di rumah, lalu kukembalikan. Semoga Allah membalas kebaikan Kakak, aamiin."
"Aamiin."
"Kalau begitu saya permisi dulu, Kak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Sekepergian Viana, Reza langsung menghembuskan napas panjang. Ia kembali melanjutkan langkahnya ke kelas dengan hati yang berbunga-bunga. Sosok adik kelas yang selama ini menjadi magnet perhatian darinya, telah datang dengan sendirinya.
'''
Di dalam kamar mandi khusus siswa laki-laki, terlihat dua orang pemuda sedang sibuk membersihkan lantai kamar mandi. Mereka berdua dijera hukuman karena tidak memakai seragam lengkap ketika upacara. Yang satu tidak memakai dasi, yang satunya tidak memakai topi.
Ganang dan Reza, biangkerok kelas 12 MIPA B yang mendapat hukuman secara bersamaan. Bila wajah Ganang muram, maka lain halnya wajah Reza yang nampak sumringah. Mengingat bahwa dirinya rela berkorban demi seorang gadis.
Bahkan, Ganang sampai tertawa bahak-bahak setelah mendengar kisah yang terbilang romantis dari sahabatnya itu.
"Reza! Reza! Gara-gara cinta, lo sampai rela dihukum bersihin WC? Hahaha! Memang, ya. Cinta membuat orang menjadi goblok!" hardik Ganang.
"Diam lo!" sengit Reza, "gue nggak cinta sama dia, ya!"
"Ah, masa? Terus ngapain lo ngasih topi lo ke dia kalau bukan atas nama cinta? Lama-lama gue lempar nih ember ke muka lo!" balas Ganang.
Telinga kanan Reza memerah. "Iya, gue cuma ngebantu dia."
"Yakin?"
"Iya."
"Bener?"
"Ngapain bohong?"
Ganang mengangguk-anggukan kepalanya. "Oh, iya. Rambutan kemarin yang gue beli ke elo, udah ludes dimakan keponakan. Gue cuma kebagian seiket. Lo masih sedia rambutannya nggak?"
Reza menghela napas. "Masih sedikit."
"Gue beli!"
"Pala bapak kau!" sentak Reza, "itu rambutan sisa di pohon, gue nggak berani ambil. Bisa dihukum samaran malam! Untung aja kemarin Paman gue nggak marah pas tahu rambutannya gue jual, itu karena di pohon masih ada. Kalau gue habisin, gue bisa kena semprot!"
"Ck. Segalak apa Paman lo itu?"
"Wuuuh." Kepala Reza digelengkan ke kanan dan ke kiri, mendramatisir keadaan. "Galak banget. Paman gue tuh mantan komandan tim rahasia yang suka bebasin sandera. Selain galak, beliau juga hebat, karena diusianya yang masih kepala dua, pangkat mayor telah berhasil disandang."
Ganang tercengang takjub. "Keren banget, Bro. Habis lulus SMA, lo mau nerusin jejak Paman dan almarhum ayah lo?" tanya Ganang yang sudah mengetahui sejarah keluarga Reza sejak mereka berdua berteman dari kelas 10 SMA.
Reza termenung, ia belum memutuskan akan ke mana setelah lulus. Ingin kuliah, tetapi biaya kuliah pastilah mahal dan ia tak mau membebani paman dan bibinya yang masih membiayai sekolah dua anaknya. Kalau menjadi abdinegara, ia rasa belum siap secara psikis meski fisiknya sudah cukup mampu.
"Gue nggak tahu," jawab Reza, "gue belum siap bila harus menjadi abdinegara. Gue nggak mau, anak gue nanti ngerasain apa yang gue rasain. Rasanya sakit, Bro." Binar di wajah Reza meredup, menoleh ketika bahunya ditepuk oleh Ganang.
Senyuman menyemangati tersungging di wajah Ganang. "Gue dukung apapun impian lo."
"Terima kasih, Bro."
"Ada syaratnya."
"Apa?" tanya Reza.
"Minta rambutan boleh?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Mengabdi (Bukan) Mimpinya [TAMAT]
Novela JuvenilHidup dengan menutupi identitasnya sebagai keponakan dari Sang Komandan tentu membuat dirinya acap kali menghadapi konflik umum yang bisa menguji kesabarannya. Yatim semenjak bayi, dan piatu semenjak umur 14 tahun tak pernah membuat semangatnya menu...