BELI SATU DAPAT DUA
TAPI BO'ONG!Seperti itulah tulisan di kertas putih yang terpampang di meja. Dengan hanya bermodalkan meja panjang, Reza mendagangkan semua barang-barangnya. Dari yang sekecil penghapus, sampai yang sebesar buku, semua ada. Namun, beberapa siswa hanya lalu-lalang tanpa berminat membeli dagangannya.
Hingga datanglah geng Elang yang tiba-tiba melintas di depan koridor kelas 12 MIPA B, di mana Reza sedang berjualan. Insting siaga segera diperintahkan oleh otak, membuat Reza bersiap dengan apa yang akan terjadi. Begitupun dengan Ganang yang semula duduk diam bermain game online di sebelahnya, kini sudah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Wah, wah. Ada banci lagi jualan, nih," seru sang ketua geng yang sudah berdiri di depan meja dan sedang memperhatikan barang dagangan milik Reza.
Ganang hendak angkat suara untuk membalas hinaan itu, tetapi diurungkan ketika Reza memberikan isyarat gelengan kepala. Dengan memendam amarah yang tidak terlampiaskan, pemuda dari keluarga cukup mampu itu memilih diam dengan rahang mengeras.
"Gue sedang jualan, bukan sedang jadi waria," sahut Reza cuek.
"Banyak bacot lo. Dagangan busuk gini dijualin, nggak akan laku. Pasti uang hasil jualan ini bakal lo gunain buat bayar SPP 'kan? Dasar miskin!"
Ah, mungkin author harus menarik kata tentang 'tidak ada penindasan' di SMA ini.
Renald, si ketua geng, mengambil beberapa butir pulpen yang kemudian dijatuhkan ke atas lantai lalu diinjak hingga hancur berkeping-keping. "Miskin!" hina Renald dan disahuti gelakan tawa dari teman segengnya.
Reza hanya bisa diam, bukannya ia tak mau melawan, hanya saja ia tak mau terjadi sebuah perkelahian yang berujung mencoreng nama baik pamannya. Sudah cukup pamannya berkorban membiayai sekolahnya, ia tidak akan membuat onar yang tentu dapat memancing kemurkaan sang paman.
Setelah geng Elang pergi, Reza beranjak memunguti lima butir pulpen yang sudah hancur tak berbentuk. Ia berdiri sembari menghembuskan napas berat. "Sepuluh ribu melayang," ujarnya pasrah.
Ganang memincing. "Eh, Badak! Bisa-bisanya lo suruh gue diam ketika ketua geng elang tua itu menghina kita, hah?! Sekarang siapa yang rugi? Elo juga!"
"Ya, gue bisa apa, Nyet? Bukannya gue takut kalah jika ngelawan mereka, hanya saja gue harus jaga nama baik Paman gue, gue cuma nggak mau beliau merasa menyesal menafkahi gue!" seru Reza.
"Ah, sok sedih, lo!" Ganang paling trenyuh. "Gue borong semua dagangan lo!"
Reza mendongak, binar di wajahnya kembali terlihat. "Kalau lo mau beli hanya karena kasihan, mending nggak usah. Ntar lo jadi miskin karena beli dagangan gue terus!"
"Gue nggak jadi miskin dengan sedekah! Berapa totalnya?" Ganang mengeluarkan dompetnya yang tebal.
"Mmm." Reza memandang semua dagangannya. "Total dua ratus lima puluh dua ribu rupiah."
"Nih. Tiga ratus buat lo!"
Diterimanya uang tiga lembar berwarna merah tersebut dengan perasaan bahagia. Bila tabungannya semakin banyak, kemungkinan besar ketika liburan semester awal ia bisa pergi ke pulau di mana ayahnya gugur. Semangat berziarahnya seketika melonjak tinggi. Dimasukkannya uang ke dalam saku celana OSIS-nya.
Sambil berdiri, Reza berkata, "Gue bungkusin semua buku dan pulpennya, ya?"
"Yoi, yang cepet!"
"Siap!" Reza mengeluarkan kresek hitam yang tadi berada di dalam saku celana belakangnya, ia memasukkan semua dagangannya yang berada di atas meja. Dimulai dari pulpen, penghapus, buku, penggaris, sampai pensil.
![](https://img.wattpad.com/cover/261528869-288-k798522.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengabdi (Bukan) Mimpinya [TAMAT]
Fiksi RemajaHidup dengan menutupi identitasnya sebagai keponakan dari Sang Komandan tentu membuat dirinya acap kali menghadapi konflik umum yang bisa menguji kesabarannya. Yatim semenjak bayi, dan piatu semenjak umur 14 tahun tak pernah membuat semangatnya menu...