Beradaptasi lagi, hidup tanpa sosok ibu seperti biasanya. Di rumah hanya berdua benar-benar terasa sepinya, padahal selama ada Rei, pria itu juga tidak ribut seperti Renji. Ya, memang semuanya butuh adaptasi lagi, membiasakan diri, menerima kenyataan sekali lagi kalau memang keluarganya kini hanya tinggal ia dan Renji. Hana tidak bisa mengelak kenyataan yang ada, sudah takdirnya, ia percaya memang seperti itu jalan hidupnya.
Hana sempat mengambil izin sehari tidak masuk kerja, hanya mendekam di rumah bersama ayahnya. Namun, tidak ada yang saling bicara antara Hana atau Renji. Hana di kamar, Renji juga sama. Keduanya sama-sama kehilangan orang yang paling mereka cinta, sampai lupa, kalau mereka berdua juga saling punya.
Selama mengurung diri di kamar, yang Hana lakukan hanya berbaring di kasur, memandangi boneka kelincinya, sembari mengingat-ingat seluruh kenangan dengan Rei. Dari kenangan paling samar, sampai saat-saat terakhir ia menghabiskan waktu dengan Rei. Mungkin yang dilakukan Renji di kamarnya juga sama. Hana tidak mencari tau, ia yakin, ayahnya disana juga sedang mengingat-ingat kenangan dengan mendiang sang istri.
Hana jadi ingat saat-saat ia mulai memanggil Renji dengan Ayah, bukan Ren-chan. Meski Hana lebih suka memanggil Ren-chan dibanding Ayah. Mengingatnya senyuman Hana sedikit menyunging, ia suka dengan ekspresi Renji dan tawa lepas Rei ketika Hana menggodanya memanggil Ayah terus menerus. Wajah memerah Renji yang mencari pertolongan pada Rei itu yang buat Hana tertawa.
“Ibu, Ibu, memangnya aku harus memanggil Ren-chan ‘Ayah’ ya?”
Rei yang waktu itu sedang mengupas jeruk untuk Hana seketika mengernyitkan kening. “Kok bertanya seperti itu?”
“Habis, Ren-chan selalu protes soal itu.”
“Menurutmu, kau harus memanggilnya apa?”
Ditanya begitu, Hana diam dulu. Ia tau, jawabannya sudah pasti ‘Ayah’, tapi setau Hana ia nyaman dengan panggilan ‘Ren-chan’ meksi Renji ayah biologisnya.
“Ingat tidak, dulu, di Bandara, kau berteriak memanggilnya Ayah.”
“Iiih, jangan membahas yang itu Bu. Itu memalukan.”
Rei cekikikan, “Tidak kok, itu luar biasa. Kau tau, waktu kau berteriak begitu, dadaku rasanya seperti nyuuut, begitu.”
Hana merengut, ia tidak suka pembicaraan memalukan itu. “Aku ingin memanggil Ayah, Bu. Tapi aku malu. Mungkin malah Ren-chan yang tidak terbiasa.”
“Masa? Memang sudah pernah kau coba?”
“Belum sih..” suaranya merendah, ia melirik Rei masih setia mengupasi kulit jeruk. Hana makin-makin menunduk, memperhatikan boneka kelinci juga boneka bayi yang duduk di pangkuannya. “Ibu.”
“Ya?”
“Kau bilang, boneka-boneka ini pilihan Ren-chan?”
Rei melirik dulu, mencari tau boneka mana maksud Hana. “Ah, ya. Waktu itu kami datang untuk mencari perlengkapanmu, tapi ia selalu saja ke etalase boneka, lalu merngek minta belikan boneka untukmu.”
“Ayah melakukan itu?”
“Um. Ia ayahmu, selalu antusias kalau sudah menyangkut tentangmu. Nama Hana juga ia yang pilih. Ia selalu mengatakan kalau ia sudah jatuh cinta padamu meski belum pernah bertemu.” Rei menarik senyum, ikut mengingat-ingat masa lalu.
“Ibu, kau sedang jatuh cinta pada Ren-chan ya? Kau senyum-senyum sendiri.”
Sontak tawa Rei terpecah, ia mengacak rambut Hana yang berkahir kena protes Hana, “Ia suamiku, tentu saja kau merasa jatuh cinta padanya kan? Sama seperti kami padamu, kau anak kami, tentu kami merasakalau kami selalu jatuh cinta padamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Sun Rises (Omegaverse) [COMPLETE]
RomansaHana yang seorang Alpha, memperjuangkan kebahagiaan dirinya, orangtuanya, juga Omega-nya. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ 𝐂𝐨𝐧𝐭𝐫𝐚𝐝𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐒𝐩𝐢𝐧 𝐎𝐟𝐟 about Hana & Hinata ⚘ 𝐍𝐨𝐧-𝐁𝐋 𝐎𝐦𝐞𝐠𝐚𝐯𝐞𝐫𝐬𝐞, Female Alpha x Male O...