.
.
.
"Aku mau anakku ! Bawa aku bertemu El ! Aku mohon, hiks... tolong."
"Cadfael sudah tiada, Nay. Kita harus belajar mengikhlaskan dia. El sudah tenang di sana, dia tidak merasa sakit lagi."
"Sadar, sayang. Itu bukan Cadfael, El sudah tiada."
"El..."
"Mommy rindu."
Langit mulai hitam dan mendung, mungkin sebentar lagi siap menumpahkan curah hujan yang deras. Naya menangis dipinggir jalan, menjadikan dirinya sendiri seperti sebuah teater pertunjukan yang membuat orang-orang berhenti, sekedar untuk menatapnya. Terlampau rindu dengan putranya membuat wanita itu berhalusinasi dan membuat seorang anak remaja ketakutan. Bagaimana tidak takut, jika seorang wanita tiba-tiba memelukmu dan hampir menciummu, dengan mengatakan jika dia rindu.
"Nay, ayo pulang. Kalau ingin menangis di rumah saja, malu dilihat orang-orang," bujuk suami wanita itu, Xam namanya.
"Aku tidak mau pulang ke rumah. Aku mau menemui putraku, aku sangat rindu."
"Baiklah,ayo kita temui."
Naya dan Xam, sepasang suami istri yang hidup berbahagia dengan anak tunggal mereka. Namun, anak yang bernama Cadfael itu didiagnosa mengidap kanker sejak umur 10 tahun. Setelah berjuang melawan keganasan penyakit itu selama 5 tahun lamanya, El akhirnya menyerah dan berpulang pada sang Pencipta.
...
"Dasar anak tidak berguna. Keluar kau dari rumah ini," teriak seorang pria paruh baya, bertubuh tinggi, dengan jenggot yang kurang terawat di dagunya. Pria itu nampak marah pada seorang anak laki-laki bertubuh mungil dengan bibir yang pucat.
"Pa, maafkan aku. Jangan usir aku, aku harus ke mana?" Remaja yang nampak rapuh itu menangis, dadanya naik turun akibat napas yang memburu. Ujung bajunya yang sudah kumal, dia remat kuat untuk menyalurkan rasa khawatir dan ketakutannya.
"Tidak ada maaf untuk anak penyakit sepertimu, anak kurang ajar yang hanya menyusahkan saja."
"Tapi aku anak Papa, hiks..."
Plakk...
Satu tamparan mendarat mulus di pipi remaja itu, membuat sudut bibirnya berdarah dan membuat tubuhnya tumbang. Dia tak getir walau rasa sakit menyerang, ini terlampau biasa. Ayah mungkin sedang berbelas kasih, hingga tidak menodongkan senjata tajam seperti biasa saat dia marah.
"Keluar ! Mulai sekarang aku tidak mau lagi berurusan denganmu. Keluar," perintah pria itu sembari menyeret tubuh anak kandungnya menuju pintu.
Malam yang gelap, hujan turun dengan deras, sesekali petir bergemuruh dengan kilatan yang jelas.
"Pah... aku mohon jangan usir aku. Aku harus kemana, hiks... hiks... hiks..." remaja itu memeluk kaki sang ayah, meminta belas kasihan layaknya hewan yang begitu menjijikkan.
"Itu bukan urusanku. Cari ibumu yang seorang pelacur itu, pergi kau !" Dengan sekali hentak, tubuh anak itu terpental. Bahkan karena kuatnya tenaga yang dimiliki pria tadi, remaja itu mendarat dengan sempurna di halaman rumah dan langsung diguyur hujan.
"Hiks... buka pintunya, Pa. Buka aku mohon..." remaja itu lantas kembali ke rumah yang sudah jelas jika pintunya tertutup untuk dia.
"Pah..."
"Pergi kau, cari pelacur itu. Bahkan aku ragu, apa kau anakku atau tidak." Kalimat yang menyakitkan itu adalah balasan, sakit sekali. Baik tubuh maupun jiwanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Experiment Son [HIATUS]
General FictionKehilangan anak satu-satunya untuk selamanya membuat Xam dan Naya sangat terpuruk. Naya tidak lagi memiliki semangat hidup dan hampir terkena depresi. Karena tidak ingin sang istri terus bersedih, Xam membuat eksperimen untuk menciptakan seseorang y...