# 2 : HARI

115 18 1
                                    

Tapi fajar beserta dengan langit biru tidak akan pernah datang mengunjungi dunia ini.

Langit berwarna abu asap adalah pembuka utama dari hari mereka. Seperti sarapan saja. Tetapi sarapan tersebut tidak memiliki “rasa” lain. Bahkan “dingin” karena tiada penghangat.

Terlalu kelam untuk dipandang sebagai kehidupan. Terlalu ironi pula untuk dipandang sebagai kematian.

Apakah dengan itu kita bisa menyebutnya sebagai “pengadilan”? “Jembatan”? Atau “gerbang”?

Kalau masih dikaitan dengan perumpaan sarapan, mereka menyendokan sarapan “dingin” itu dengan memijakan kaki diantara hamparan tanah dan rumput mati.

Perlahan mereka menelannya. Ekspresi ngeri tergambarkan kala mereka menelan—menghadapi, realita yang ada tepat di depan mata mereka.

Apa kalian berniat menjalankannya?

Pertanyaan bodoh itu akan dijawab dengan mereka ingin berseru tidak.

Mereka ingin pulang. Mereka ingin merasakan kehangatan yang mereka lupakan. Kehangatan yang mereka anggap bisa terulang kembali.

Mereka ingin kembali.

“SANG SEMESTA! KEMBALIKAN KAMI…!”

Andai mereka bisa berseru demikian.

Diisi lah suasana tersebut semilir angin lembut berhembus. Beberapa maju menuju padang sabana yang baru saja kemarin mereka pijaki sebagai tempat pertemuan tidak terduga.

Kosong.

Mereka pikir itu cukup adil.

Adil?

Tentu saja, itu sangat adil. Perasaan mereka akan penyesalah bisa mereka tumpahkan kepada kekosongan tiada batas.

Untuk sisi positif, setidaknya ada bunga yang menandakan mereka pernah hidup di sini. Harapan. Itu adalah harapan karena mereka beranggapan, “Mereka yang entah siapa namanya. Semoga saja roh mereka memberikan petunjuk kalau memang kejadiannya benar demikian”.

Kehidupan di masa lampau.

“Hahh…,” beberapa dari mereka menghela nafas dari jiwa mereka. Termasuk dengan Tayren yang menatapi langit abu nan luas yang membentang itu.

“Suasananya tidak akan berubah secepat itu…”.

Tolong jawab sekarang, apa yang kau harapkan dari perubahan mendadak?

Pertanyaan itu tidak selalu berakhir dengan bahagia. Secara logika, perubahan mendadak tersebut akan membuat suatu percikan berupa konflik. Masa seorang mahluk hidup beradaptasi berbeda-beda.

Tiada gunanya berharap seperti itu.

Mereka menggeleng.

Mereka tidak mau berpikir dengan kata seandainya. Sudahlah, mereka terlalu muak memikirkan hal tersebut.

“Ah! Ada ikan!” seru beberapa orang dengan menunjuk sungai yang terdapat ikan tersebut. “Ayo tangkap ikannya!”

“Astaga kalian…,” sahut Ethan di mana dia melihat mereka yang mau menangkap ikan. “Hati-hatilah, kalian bisa tersesat!”.

 “Hati-hatilah, kalian bisa tersesat!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RAISON D'ÊTRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang