# 2,1 : HAMBAR

107 17 0
                                    

Percakapan makan siang mereka melelehkan suasana tegang antara timur dan barat. Menjadikan hal tersebut hangat dalam suka duka misteri yang tidak bisa dipecahkan.

Mereka masih berpikir teorinya.

Setidaknya untuk sementara—batin mereka satu sama lain demi mencengah adanya luka lebih lanjut. Baik itu luka fisik, atau pula dengan luka batin.

“Kami sudah menyiapkan makanannya!” pihak yang mau memasak, kedua pihak yang bercampuran. Gotong royong satu sama lain untuk kebaikan.

“Makan?” beberapa dari mereka menawarkan kepada mereka yang diam ditempat.

“Terimakasih, tapi nanti saja”.
Rata-rata mereka saling berbincang satu sama lain untuk sekadar mengisi diri mereka. Asupan berbicara juga suatu kebutuhan untuk mereka.

“Selamat siang, Mafurei~,” sapa hangat Tayren menatap Mafurei yang hanya mengangguk. “Idih, serius banget dah”.

“Tidak juga,” jawab Mafurei. “Mengenai langit.”

“Ya, aku paham kok,”

Anak muda—wajar Mafurei mendengar jawaban tersebut. “Hebat sekali bukan? Sudah waktu tidak berjalan sedemikian rupa, lalu dilanjut dengan adanya kehidupan.”

Makan siang berupa sayuran tersebut ditusuk Tayren dengan garpu. Dia menatap Mafurei yang di mana dia tidak menyentuh makanannya setelah ucapannya.

Apa dia salah ucap?

Tidak bukan?

“Tapi, apakah kita akan hanya sebatas; “Yasudah, waktu tidak berjalan sedemikian rupa” dan juga; “aneh ya, ada kehidupan di sini”?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Tapi, apakah kita akan hanya sebatas; “Yasudah, waktu tidak berjalan sedemikian rupa” dan juga; “aneh ya, ada kehidupan di sini”?”

“Tentu saja tidak,” jawab Mafurei. “Saya sedang memikirkannya kenapa dan apa alasannya”.

“Keren!” Tayren terkekeh.

Cepat atau lambat, semuanya perlu disadari.

Mafurei menatap ke atas. Dia melihat chandelier. Dia sedikit menyipitkan matanya. Mendapati bekas lilin putih meleleh yang sudah mengeras dan keabuan debu.

Chandelier...,” gumam Mafurei pelan.

Chandelier?” Tayren menatap ke atas. “Oh, Ethan dan Sandy baru saja menyinggungnya dan mengatakan ada bekas lilin disekitarnya,” timpal Si Gadis rambut biru. “Ada apa?”

“Saya hanya berpikir bagaimana “caranya” kehidupan sebelumnya bisa hilang ditelan begitu saja,” Mafurei menjawab. “Karena ini bukan lagi soal pertanyaan apa dan bagaimana yang sederhana”.

“Melainkan kenapa yang dikehidupan yang lalu sampai mendapatkan kutukan tersebut?”

“Semua itu kembali kepada apa dan bagaimana, Mafurei.”

“Maksud saya bukan apa dan bagaimana dalam bentuk pertanyaan “penyebab”, Tayren.”

“…Apa dan bagaimana sebagai “cara” kita bisa keluar dari dimensi ini?”

Correct, karena itu harus mencari “kenapa” lebih dahulu dengan tindakan selanjutnya “apa yang harus kita lakukan setelah tahu” dan “bagaimana cara mengakalinya dalam waktu sesingkat-singkatnya”…”

“Rencana berbahaya tapi menarik.”

“It is better to light a candle than curse the darkness [Eleanor Roosevelt].”

Pasang mata dari orang-orang menatap mereka dengan rasa penuh penasaran dan juga pertanyaan. Bisik mereka dapat terdengar pelan, samar-samar diantara orang-orang yang berbicara.

“Pembicaraan mereka nampak berat sekali,” Hirazka Lee memakan sebuah apel yang dia temukan disekitar padang sabana tersebut.

“Hm, iya…,” Arika mencatat sesuatu di buku kecilnya. “Pembicaraan mereka… Berat”.

Jonathan beralih ke Trez, “Kurasa kau mengetahui sesuatu, Trez”.

Trez yang terpanggil hanya menolehkan kepalanya, “Aku tahu tapi aku tidak mau sembarangan”.

“Salah langkah kita bisa-bisa tewas”.

Kalau kehidupan ini adalah papan permainan catur, maka benar, jangan sampai kita salah langkah. Namun papan permainan catur ini adalah papan yang saling membantu, bukan mengalahkan.

Apa yang mau dikalahkan?

Semangat hidup? Astaga! Tolong jangan membuat suasana semakin runyam!

“Alangkah baiknya kalau kita mencari petunjuk jalan keluar,” nasihat dari beberapa pihak baju merah yang dijawab dengan kesetujuan.

“Ya kalau itu kami juga setuju, demi kebaikan”.

Tanpa basa basi lebih lanjut, mereka melanjutkan makan siang mereka. Mengunyah makanan di piring yang terlihat indah. Namun rasa tidak nyaman tidak dapat memungkirinya.

Beberapa dari mereka mengecut. Memejam mata merasakan sesuatu yang tidak biasa di mulut mereka ditengah rasa ketenangan mereka.

Ah, hambarnya…

Next : Chapter 2,5
To Be Continued...

Illustrated by Tayren

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Illustrated by Tayren

RAISON D'ÊTRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang