"Jadi, akhirnya kamu enggak nyari tau?" tanya Nako setelah Mashiho menceritakan tentang apa yang terjadi di cafe tadi siang.
"Iya. Aku nahan diri aja, gamau bikin dia ngerasa gak nyaman."
"Hmmm" Nako mengangguk-ngangguk. "Iya, sih, lagian keluarga itu kan bagian dari privasi juga. Kalau memang belum mau cerita, ya gapapa. Tapi, lama kelamaan, pasti bakal dikenalin, kok."
Mendengar itu, Mashiho malah jadi overthinking. Apalagi kalau mengingat fakta bahwa Nako sangat akrab dengan keluarga Eunsang, sementara Mashiho bahkan tidak tahu tampang orang tua Remi.
Sudah lama kenal, tapi kenapa Remi masih tertutup? Bagaimana kalau misalnya Remi enggak bakal mengenalkan Mashiho ke orang tuanya? Apa Remi masih ngerasa kalau mereka bedua belum sedekat itu?
Mashiho mengerjapkan mata, berusaha membuang jauh-jauh pemikiran jelek. Tidak boleh begini, cuma akan membuat semuanya jadi lebih buruk.
Sadar kalau kembarannya sedang dilemma, Nako memutuskan untuk menghibur. "Cio, kamu gak ada kelas, kan, sore nanti?"
"Iya, free. Kenapa?"
"Mau jalan-jalan?"
"Ke mana?"
"Ngemall, deh, kayak biasa."
"Boleh."
Sorenya, mereka berdua pergi ke salah satu mall Bekasi, cuci mata ditemani oleh Asahi yang katanya ingin membeli kamera baru. Yeji sebenarnya juga ingin ikut-karena merasa suntuk di rumah-tetapi tidak jadi karena dosennya tiba-tiba merubah jadwal kuliah. Yang seharusnya malam, berpindah ke pukul empat sore.
"Asahi lama banget milihnya," malas Nako, sudah capek menemani Asahi melihat-lihat berbagai kamera analog.
Kalau mau, Asahi bisa saja membeli sepuluh kamera dengan uang tunai sekarang juga. Tetapi, mengingat betapa irit—menyerempet pelit—nya manusia satu itu, maka Nako menyadari jika lelaki itu pasti akan memakan waktu lama untuk memutuskan dengan hati mantap.
Nako pun akhirnya memutuskan untuk ikut Mashiho duduk di bangku kayu panjang seberang toko.
"Cio gamau beli juga?" tanyanya ke Mashiho yang bersandar santai memakan jagung susu keju.
"Yang lama masih bagus," jawab Mashiho.
"Terus mau beli apa?" tanya Nako.
"Ya enggak beli apa-apa. Kan kamu ngajakin jalan-jalan, buka shopping."
Nako cemberut. Tujuan dia membawa Mashiho ke sini adalah untuk menghiburnya—serta sebagai permintaan maaf secara tidak langsung, karena tadi malam boneka rusa Mashiho yang baru dia beli kejatuhan es krim mint milik Nako.
Tapi, psst! Ini rahasia, ya!
"Aku traktir, nih. Mau apa?" bujuk Nako. "Jaket? Topi? Makanan? Tas? Atau ... boneka?" lanjutnya pelan, melirik hati-hati.
Mashiho memajukan bibir, berpikir untuk menimbang tawaran Nako. "Earphone aja, punyaku kemaren udah gak terlalu bagus kondisinya."
Nako mengukir satu senyum semangat ketika mendengar jawaban dari Mashiho.
"Sip, ayo kita cari earphone!" katanya ceria, lalu berdiri dari bangku dan menoleh ke toko elektronik tempat Asahi masih sibuk celingak-celinguk.
"Aku bilang dulu ke Asahi," kata Nako, berlari kecil menghampiri Asahi untuk mengabari niatannya.
"Oi, aku sama Cio mau nyari headset dulu. Ntar kami baliknya di bangku sana. Oke?"
Asahi mengangguk mengiyakan, lalu mengacungkan ibu jari.
Setelah mendapat respon tersebut, Nako pun kembali berlari ke arah Mashiho dan mengajak kembarannya itu untuk segera mencari barang tujuannya.
"Mau cari di man---" Nako berhenti bersuara ketika ia menatap sebuah toko terang yang diisi oleh ramai sekali pelanggan.
Baru dua langkah mendekat, matanya sontak terbelalak saat melihat seorang perempuan yang cukup familiar sedang berdiri di bagian kasir.
Nako segera memasang hoodie jaket, berusaha menutupi wajah. Mashiho yang heran dan ingin bertanya malah dibuat terkejut karena Nako secara tiba-tiba menurunkan topi yang ia pakai sehingga penglihatannya sedikit terbatas.
"Kenapa?" tanya Mashiho, hendak memperbaiki posisi topi di kepalanya, namun segera ditahan oleh Nako.
"Ada Remi," bisik Nako sambil agak berjinjit supaya bisa lebih dekat dengan telinga Mashiho.
Sontak saja, Mashiho mengangkat kepala, berusaha mencari keberadaan Remi. Tetapi, tangan Nako refleks menarik ke bawah bagian depan topinya sampai pemuda itu bersuara kecil.
"Aduh, Na!"
"Ssttt!"
Mereka pun berjalan perlahan ke dekat pot untuk bersembunyi, lalu mengintip dari celah dedaunan. Nako dengan santainya jongkok di bawah, sedangkan Mashiho hanya sedikit menundukkan badan. Beberapa orang melihat mereka dengan pandangan aneh, bahkan membuat seorang anak bertanya kepada ibunya, "Mah, kakak-kakak itu lagi main petak umpet, ya?"
"Jangan diliat," balas mamanya, menarik tangan sang anak supaya tidak tertular keanehan dua makhluk tak jelas itu.
"Dia ngapain di Daiso?" gumam Nako penasaran.
"Itu lagi ngelayanin orang yang mau bayar."
'Iyaa, tau, Cio. Tapi, kenapa? Dia kan keturunan yang bikin Daiso, buat apa kerja jadi kasir?"
"Merakyat, kali? Lagian, itu kabar juga belum tentu bener," balas Mashiho, lalu segera menegakkan badan karena baru menyadari banyaknya atensi yang mereka peroleh dari pengunjung mall lantaran tingkah tidak tahu malu mereka.
"Berdiri, Na. Kita kayak orang gila."
Nako menoleh ke Mashiho, lalu ke arah sekitar dan menundukkan kepala. Ia cepat-cepat berdiri, kemudian menarik tangan Mashiho pergi dari sana, malu sekali.
Mereka kini berada di salah satu toko pakaian yang letaknya tidak begitu jauh dari Daiso sambil sibuk berbincang.
"Mau beli headset di sana?" tanya Nako.
"Engg, tempat lain aja."
"Kamu beneran gak pengen nyapa Remi?"
"Untuk sekarang belum, deh, Na."
Nako berhenti bertanya, setelahnya melirik ke Daiso.
"Kalau gitu, aku aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Whimsical Siblings : The Next Level
FanfictionKelanjutan kisah Chiba bersaudara