Mawar Biru

760 135 67
                                    

Sudah dua hari ini Denta jadi sosok yang pendiam. Bahkan, hanya mengurung diri di kamar. Kumala-mamanya- khawatir sendiri, setiap bertanya hanya dijawab oleh anggukan atau gelengan kepala. Untungnya, Denta tak menolak untuk makan.

Dua hari itu pula, Baruna selalu menemani Denta. Menyuapinya dan sering mengajaknya bicara meski hanya dijawab lirih-lirih.

"Denta, masih gak mau cerita sama mama?"

Bukannya menjawab, Denta hanya semakin mengeratkan pelukannya. Menenggelamkan kepala di dada Kumala, lalu meremat baju belakangnya dengan tubuh yang bergetar. Selalu begitu, bahkan Kumala sudah antisipasi kalau saja bungsunya harus periksa ke psikolog. Sungguh, kadang dia tanpa sadar menangis saat menemani Denta untuk tidur sambil tak henti menggumamkan kata takut.

Baruna datang. Bahkan, jika situasinya tidak begini, ia juga akan tetap datang setiap malam untuk menemani Denta belajar.

"Tante sudah makan?" Tanya Baruna sesaat setelah menyalami Kumala.

Kumala menggeleng sembari menyunggingkan senyumnya.
"Belum. Baru selesai nyuapin Denta."

Baruna menghela nafas saat melihat Denta yang belum membaik. Dalam hati menyumpahi Sidra dan bertekad untuk membunuhnya kalau saja Denta mengalami trauma berat. Lantas memberi isyarat pada Kumala, supaya dia menggantikan posisi tantenya itu.

"Denta sama Baruna dulu, ya. Mama mau cuci piringnya Denta ini."

Baruna berjongkok disamping ranjang. Mengelus kepala Denta.
"Denta, lepas dulu coba. Kasian tante belum makan."

Pelukan Denta lepas setelahnya, berganti genggaman erat pada kedua tangan Baruna. Kumala keluar dari kamar sang anak, menyempatkan diri menatap Denta lamat sebelum hilang dibalik pintu. meninggalkan kedua pemuda dimana yang lebih tua sudah ikut duduk di ranjang dan mengusap lembut kepala yang lebih muda.

"Gak bosen di kamar terus?"

Denta menggeleng.

"Apa gak mau keluar?"

Denta mengangguk.

"Kasian loh tante nanti makin khawatir. Besok masuk lagi ya?"

Dapat Baruna rasa rematan di ujung bajunya. Kepala Denta yang tadi tenggelam di dadanya, kini mendongak sedikit. Menatap Baruna dengan binar ketakutan yang membuat hatinya ikut merasa sakit.

"But he touch me." Suara Denta lirih. Sangat lirih, hingga bahkan bisa saja ditepis langsung oleh hembus angin.

Dan Baruna lagi-lagi merasa sakit. Tenggorokannya tercekat dan sulit mengeluarkan kata-kata. Kalimat sederhana yang didengarnya, membuat ia merasa gagal untuk kesekian kalinya.

Tangan Baruna kembali membawa kepala Denta bersandar di dadanya. Menghindari tatapan mata yang lebih muda.
"He won't touch you anymore. Never."

"Denta masih takut. Bayangannya dateng terus."

Denta menangis, sedang Baruna hanya mampu mengecup berulang kali puncak kepala yang lebih muda. Memeluk Denta erat-erat, berharap pelukannya mampu menghilangkan takut pemuda itu. Juga, berharap mampu menghilangkan penyesalan terdalamnya.

~ ~ ~

Kini, Baruna tengah duduk di sofa ruang tamu. Menunggu Kumala yang masih menemani Denta untuk menyambut alam mimpinya. Pikiran Baruna berkelana. Mencari berbagai kemungkinan yang bisa ia lakukan untuk membalas kelakuan Sidra.

"Baruna."

"Ah? Tante." Baruna sedikit terlonjak dari lamunnya. Melirik ke arah pintu kamar Denta.
"Denta udah tidur?"

Sajak SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang