4

5 0 0
                                    


Aya baru selesai menghabiskan sarapannya ketika dering notifikasi pesan masuk melalui ponselnya.

Ravano

(this user isn't your friend yet)

Andrea, gue jemput lo ya pagi ini.

Gue udah izin ke nyokap lo.

Aya melotot melihat pesan yang baru saja dibacanya. Ia bangkit dari kursinya dan lari menuju kamar Fania untuk mengklarifikasikan apa yang baru dikatakan Rava.

"MAMA!!!" Seru Aya dengan lantang kepada ibunya yang tengah berdandan sebelum pergi ke kantornya.

"Aduh, Dek! Pelan-pelan dong! Lipstick Mama hampir keluar garis karena kamu bikin kaget!" Ujar Fania kepada anak perempuannya yang terlihat begitu panik dan tergesa-gesa.

"KAK RAVA IZIN UNTUK JEMPUT AYA?! DAN MAMA NGIZININ?!" Tanya Aya panik.

"Iya. Kasihan kamu gak pernah deket sama cowok." Jawab Fania santai.

Aya masih begitu heran dengan ibunya. "Ma, Mama dan Papa selama ini protektif banget ke Aya, terutama soal cowok. Dan sekarang dengan mudahnya Mama ngebolehin Aya berangkat bareng cowok yang belum Aya kenal?"

"Tapi Mama kenal Rava selama dia udah temenan sama Abang, which counts for 6 years."

Selang beberapa detik kemudian, suara klakson mobil terdengar di depan rumah Aya. Aya menatap ibunya dengan panik ketika ia sadar akan siapa yang datang.

Aya lekas berpamitan dengan ibunya dengan perasaan panik tak karuan dan memutuskan bahwa ia harus bersikap biasa saja. Tanpa menunjukkan bentuk kepanikan atau kegelisahan apapun. Apa salahnya dianterin cowok ke sekolah?, batin Aya menenangkan dirinya sendiri.

Aya keluar dari rumahnya setelah mengemas barang-barang dan memakai sneakersnya, menemukan seorang laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu Mercedes Benz berwarna merah dengan paras yang begitu memukau. Aya tak akan mengakui fakta tersebut.

"Pagi, Andrea." Sapa Rava.

Aya berjalan menuju mobil Rava yang terparkir cantik di depan pagar rumahnya.

"Kenapa sih lo manggil gue Andrea? Aya. A-y-a. Yang manggil gue Andrea cuman bokap sama nenek kakek gue."

"Kenapa sih lo suka komplain?" Jawab Rava yang kini tengah membukakan pintu mobilnya untuk Aya.

"Soalnya lo aneh." Jawab Aya singkat. "Makasih ya Pak Dodi kedua."

-

Keheningan terjalin antara keduanya selama 10 menit dan Aya tak tahan akan kecanggungan itu.

"Kak, lo gak suka dengerin lagu kalau di mobil? Garing banget tau gak." Ujar Aya.

"Kenapa sih lo suka banget komplain, Andrea? And one more thing, panggil gue Rava aja." Balas Rava.

"Oke Rava. Kalau lo gak suka gue komplain mulu, lo tinggal ngejauh dari gue. Gak usah ngomong lagi sama gue. Bener gak?"

Gue gak ngerti banget sama isi hati sama otak dia. Tapi itu yang bikin gue penasaran. Gue pengen tahu ada apa tentang dia dibalik itu semua, batin Rava mendengar celotehan Aya.

"Menurut gue, itulah tantangannya. Gue gak pernah nemuin orang kayak lo, Andrea. Gue gak tahu bagaimana jelasinnya. Semua hal yang ada di dalam diri lo terlalu ribet buat orang ngerti." Jawab Rava.

Aya yang sedari tadi berbicara dengan pandangannya yang tertuju pada jalan raya kini membalikkan badannya ke arah Rava dan menatap lelaki itu sepenuhnya.

"Gue gak biarin orang lain untuk ngerti gue, Rav. Gue gak nyaman akan perasaan yang akan gue rasakan di saat gua biarin orang lain untuk mengerti gue, karena pada saat itu gue akan menaruh ekspektasi pada orang lain. I trust nobody but myself." Jawab Aya dengan nada yang begitu serius kali ini.

Aya, apa yang baru lo omongin tadi?! Batinnya yang sama terkejutnya dengan Rava akan apa yang baru saja diutarakannya.

"Andrea, tanpa lo sadari lo baru saja mengenalkan diri lo ke gue. Jujur gue kaget, tapi gue seneng." Rava menatap Aya dengan senyuman yang terukir pada wajahnya dan kini Aya ingin sekali menonjok dirinya sendiri.

Mobil Rava memasuki gerbang utama sekolah dan Aya merasa perjalanan mereka begitu cepat karena kini mereka sudah berada di parkiran sekolah.

"Aduh. Males banget gue. Banyak cewek-cewek angkatan lo. Ini gue keluar dari mobil lo bareng lo sama aja kayak misi bunuh diri." Ujar Aya yang menyadari akan keberadaan sekumpulan siswi-siswi populer kelas 12 dekat mobil Rava.

"Lebay banget sih bocil." Jawab Rava.

"OH MY GOD!" Seru Aya tanpa aba-aba yang kini membuat Rava begitu terkejut. "Ada mantan lo juga! Gue gak mau turun di sini. Lo mending keluar gerbang lagi terus gue turun di luar, please."

Bukannya menanggapi perkataan Aya dengan serius, Rava malah tertawa mendengarnya.

"Lo tahu kalau Bianca mantan gue? Oh berarti lo tahu tentang gue dong. Kira gue lo bener-bener gak peduli sama urusan siapapun itu. Wait, mungkin karena gue terkenal kali ya." Jawab Rava dengan nada percaya diri.

Aya begitu geram mendengar perkataan Rava dan kini Aya begitu terkejut karena sekarang Rava sedang mematikan mesin mobilnya dan keluar dari mobil lalu membukakan pintu mobilnya untuk Aya. Di hadapan banyak orang.

Tanpa aba-aba, Rava menggenggam tangan Aya dan tidak melepaskan genggamannya selama mereka berjalan menuju lobi utama sekolah dari parkiran yang menyebabkan semua mata memandang keduanya.

"Bianca! Sejak kapan Rava deket sama Andrea? Adiknya Al kan itu?!" Seru salah satu teman Bianca yang terdengar oleh Aya.

"Yah, kalau saingan lo Rava, lo udah abis duluan,"

"Wajar sih Aya mau sama Rava, satu sekolah pengen sama Rava,"

"Gue sakit hati Rava ada gandengan, tapi itu cewek emang nyaris sempurna. I can't compete,"

"Tapi menurut gue mereka cocok banget."

Rava yang begitu cuek akan omongan orang-orang disekitarnya membuat Aya sangat kesal karena ia tak tahan akan semua celotehan yang sedari tadi terdengar olehnya. Sesampainya di lobi utama sekolah, Aya menghempaskan tangannya dari genggaman Rava dengan kasar.

"Rav, what was that about? Mungkin lo udah terbiasa dengan semua perhatian yang ada di lo. Lo biasa dengan sanjungan orang-orang tentang diri lo. Tapi gue bukan lo. Gue gak suka. Terlebih lagi, emang gue suka sama lo? Nggak. Selepas dari gue suka sama lo atau tidak, gue paling gak bisa dan gak nyaman kalau ada orang yang suka sama gue dan perlakuan dia membuat gue seakan-akan udah menjadi milik dia. I'm not yours, Rav. Dan gue gak akan menjadi milik lo. Mumpung masih terhitung hari sejak lo pertama kali ngedeketin gue, mending lo berhenti sekarang."

Karena dilanda emosi, Aya tak menyadari akan perhatian orang-orang disekitarnya yang menyaksikan dirinya dengan Rava. Aya melangkah pergi meninggalkan Rava yang pertama kali merasakan egonya diinjak oleh seorang perempuan yang begitu tegar dan berani. Perempuan yang mampu menghasilkan banyak sekali pertanyaan pada benaknya. 

It's Okay to FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang