6

5 0 0
                                    


Aya berjalan memasuki kantor Harris yang begitu besar, berdiri tinggi di tengah kota Jakarta.

"Hai, Aya!" Sapa Lea, sekretaris utama Harris, ketika ia melihat Aya tengah berjalan ke front office.

"Hai, Tante Lea! Aku mau ke ruangan Papa ya, Tante. Aku sudah izin kok ke Papa."

"Oke, sayang. Masih ingat kan password ruangan Papa kamu? It's been a while since you haven't visited this office," Ujar Lea.

Aya mengangguk pelan. "Masih kok, Tante. Aku ke atas ya. Thank you Tante Lea!"

Aya berjalan menuju ruangan ayahnya yang berada di lantai 50. Ia hafal sekali setiap sudut pada kantor ayahnya ini walaupun hampir 3 bulan terakhir ia tidak mengunjungi tempat ini. Semasa kecil, Aya dan Al seringkali menghabiskan waktu bermain mereka di kantor ayahnya. Aya tersenyum kecil mengingat kejadian-kejadian masa kecilnya dengan kakaknya selama berjalan menuju ruangan ayahnya.

Setelah memasukkan password pada keypad yang terletak di sebelah pintu otomatis pada ruangan Harris, Aya memasuki ruangan ayahnya itu yang begitu besar dan nyaman. Terdapat sebuah meja makan dan sofa yang cukup besar. Tak heran jika Aya sangat nyaman akan tempat ini.

"Hai, Dek. Cepet banget kamu sampai kesini," Sapa Harris yang tengah duduk membenahi berkas-berkas di meja kerjanya.

"Hai, Pa." Jawab Aya, mencium punggung tangan ayahnya. "Iya, kan tadi Adek udah otw pas nelpon Papa, hehe."

"What's wrong? Ada yang perlu kamu bicarakan tentang sekolah? Menurut Papa sih pastinya bukan masalah temen, karena sejauh yang Papa tahu kamu sangat unproblematic. Dan pastinya bukan masalah pelajaran, dilihat dari prestasi kamu selama ini. Maka dari itu, boy problems it is."

Aya tidak menanggapi ataupun menyanggah perkataan ayahnya. "It's complicated," Jawabnya.

"Kamu bisa mengekspresikan apapun yang kamu rasakan, Andrea. Papa akan mencoba untuk mengerti."

"Aya gak pernah bisa ngasih hati ke orang lain, Pa. Not because I can't, I don't want to. Aya hidup bahagia banget selama hampir 17 tahun terakhir, dan itu berkat Papa, Mama, dan Abang. You guys are everything I needed in life, dan Aya gak bisa ngebayangin kalau akan ada orang lain yang bisa memberikan kebahagiaan kepada Aya sebesar yang telah kalian berikan. So, thank you."

Harris berkaca-kaca menatap putrinya yang kini tengah berbicara dengan begitu tulus. Ia nyaris tak sadar selama ini bahwa anak perempuan yang begitu disayang dan dimanjanya sudah beranjak menjadi perempuan dewasa.

"Dan apa Andrea merasa ada masalah dengan kebahagiaan yang Andrea peroleh?" Tanya Harris.

"Tidak sama sekali, Pa. Aya gak pernah ngerasain suka sama orang selama ini, dan itu karena Aya terlalu egois dan sombong. Aya berpikir bahwa setiap orang yang pernah ngedeketin Aya itu gak berhak untuk memiliki Aya. Mereka gak akan bisa bikin Aya bahagia. I've been so happy because of my family dan Aya gak akan ngebiarin orang lain untuk masuk ke hidup Aya dan menghilangkan ketenangan dari hidup Aya yang bahagia." Jawab Aya. Ia tak sadar kini air mata tengah mengaliri wajahnya selama ia berbicara.

"Tapi ada satu laki-laki ini yang bisa meruntuhkan prinsip Aya dari logika yang Aya sebutin tadi, Pa. I don't know why or how. Aya sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan Aya ke dia. I asked him to stop chasing me, in front of everyone, unpurposely. Aya pikir dengan itu Aya akan merasa tenang, tapi sekarang Aya merasa bersalah banget, Pa. Aya malu, marah sama diri sendiri, dan entah kenapa, Aya merasa kalau Aya telah nyakitin diri Aya sendiri. I thought I wasn't supposed to get hurt. Gak masuk akal kan, Pa?"

Harris tersenyum melihat gadis kecilnya yang kini tengah menangis di hadapannya. Ia mengambilkan sekotak tisu dan menyerahkannya kepada Aya.

"Aya gak nyadar kalau Aya nangis, Pa. This is embarrassing." Ujar Aya sambil mengambil selembar tisu untuk mengelap wajahnya.

Harris tertawa. "Nggak sayang, it's not embarrassing."

"Kamu adalah gadis yang sangat pintar. Sangat cerdas. Sangat cantik. Sangat bertalenta. Papa yakin semua orang bisa melihat hal itu. Papa tahu bahwa kamu sangat menyayangi diri kamu sendiri sampai pada titik dimana kamu takut jika ada yang menyakiti kamu. Tapi itulah hidup, Andrea. Kita tidak akan terus-menerus bahagia. Ada kalanya kita akan mengalami sakit hati. Papa mengalami hal itu, Mama kamu juga, Abang pun begitu. Semua sakit yang pernah atau akan kita alami bukan untuk kita sesali, tapi untuk kita jadikan pelajaran. Untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih baik lagi. Perihal perasaan kamu, it's okay to feel, Andrea. Mengeluarkan sisi sentimental kamu tidak membuat kamu menjadi lemah. Biarkan hati kamu merasakan apapun itu perasaan yang ada di dalamnya. Memaksakan hati kamu untuk tidak punya perasaan sama seperti memaksakan lambung kamu untuk tidak membutuhkan makanan. Mustahil bukan?"

Aya mendengarkan setiap kata yang diucapkan ayahnya dengan saksama.

"Jadi sekarang apa yang harus Aya lakukan?"

"Let your heart feel. Jangan membatasi perasaan kamu. Ambil resiko itu, Andrea. Apapun yang hati kamu inginkan. Kita bisa mengendalikan aksi kita, tapi kita tidak bisa mengendalikan apa yang kita rasakan. Semua itu kamu yang tentukan demi kebahagiaan kamu sendiri."

"Thank you, Pa." Ujar Aya yang kini tengah memeluk ayahnya.

"Anything for my princess."

It's Okay to FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang